Film Shiva dan Proses Internalisasi Nilai-Nilai Sejak Dini

Sumber gambar: Google Play


Liburan akhir semester kali ini tidak kemana-mana. Bukan karena tidak ada keinginan untuk kemana-mana. Tapi faktor keadaan yang tidak bisa kemana-mana. Kedaan itu bukan dibuat-buat. Ini soal tanggung jawab. Menjaga, merawat serta mencintai anak adalah tanggung jawab orangtua. Oleh karena itu, hari-hari liburan saya adalah bersama anak.

Sedangkan Bundanya pergi kerja. Pergi pagi-pulang sore. Maklum pegawai swasta. Jadi kerjanya harus dengan sungguh. Ya, itulah, mencari sesuap nasi tidak gampang. Lagian, tugas menafkahi anak bukan lagi tanggung jawab Ayah semata. Namun menjadi tanggung jawab Bundanya juga. Itulah hidup. Dan indahnya adalah ketika Ayah dan Ibu sama-sama memiliki kepedulian untuk masa depan anaknya.

Liburan telah usai. Sejak 10 Juli saya sudah masuk sekolah. Sudah bertemu anak-anaku lagi. Asikan. Selain ada anak kandung dirumah. Tapi masih banyak anak lagi di sekolah yang serasa anak kandung. Ya, memang perlakukan mereka harus anak kandung. Sebab tugas mendidik adalah untuk memanusiakan manusia.

Selama liburan saya menjaga anaku. Umurnya 3 tahun lebih. Namanya Nona Maurin Zanda. Sudah pintar omong. Dan sedikit keras kepala. Dia adalah anak pertamaku. Setiap kali bangun tidur, langsung duduk di depan tivi untuk nonton film kartun Shiva. Dalam otaknya hanya sebut kata Shiva. Dan kalau nonton pasti sampai habis. Teman tetangga yang datang ganggu atau ajak untuk bermain, dia tak peduli. Ehemm, rupanya Shiva sudah menyuntikan virus kebaikan dalam hati anaku. Senangnya.

Melihat kecintaan dan kesetiaanya dalam menonton film karton Shiva ini, saya sebagai ayahnya pun bertanya-tanya. Siapa itu Shiva? Untuk itu, saya memutuskan untuk nonton bersama anak saya. Sambil nonton saya suap dia. Sedangkan pekerjaan yang lain seperti cuci piring, cuci pakian, sapu rumah, atur temapat tidur hingga masak makanan babi dipending dulu. Biasanya selepas nonton film Shiva baru saya mengurus semuanya itu.

Melihat anakku yang begitu setia dan seolah-olah memahami film Shiva itu, akhirnya dengan nada canda saya bertanya pada anaku; “Nona, Shiva itu siapa e?”. Tanpa pikir lama, dia bilang;” Shiva itu tukang tembak setan dan orang jahat. Saya mau bisa terbang seperti Shiva. Bapak tolong beli senapan. Saya mau tembak setan kalau ganggu Bapak”. Hehehehehe!

Saya pun tersenyum. Hatiku diam-diam berbunga-bunga. Seumur anaku, sudah memahami apa yang dia nonton, itu luar biasa. Memang tak dapat dimungkiri bahwa film Shiva memang gampang untuk dimengerti. Jalan ceritanya pun gampan ditebak. Sebab inti dari setiap episode yang ditayangkan adalah membela kebenaran. Di mana Shiva selalu hadir pada saat kejahatan menguasai orang baik. Perjuangan untuk mengalahkan kejahatan pun tidak gampang. Nah, itulah sebabnya disetiap akhir ceritanya, barulah Shiva mengalahkan orang-orang jahat itu. Dan bendera kebenaran pun dikibarkan.

Dan rupanya film kartun Shiva ini sudah diseting sedemikian rupa agar cepat di mengerti oleh anak-anak. Lalu hebatnya lagi ditayangkan setiap hari di ANTV dari pukul 07.30-09.30. Asikan. Sudah gampang dimengerti jalan ceritanya. Lalu ditayangkan setiap hari. Hmm, terima kasih untuk negara India yang telah menghadirkan Shiva untuk Indonesia. Dan memang benar bahwa sesuatu yang baik itu harus di tayangkan berulang kali. Untuk selalu mengingatkan kita bahwa membela kebenaran itu adalah kebutuhan setiap manusia. Mungkin baik juga kalau para pejabat negara sisihkan waktu untuk nonton film Shiva. Biar otak kalian jangan hanya pikir kuasa, uang dan korupsi.

Hemat saya, jikalau film kartun Shiva ini di tonton setiap hari oleh anak-anak, saya amat yakin otak, hati dan perilaku mereka akan terarah dengan baik sejak dini. Film ini sangat baik dalam proses internalisasi cara pandang anak sejak dini terhadap pentingnya menjaga serta menghidupi nilai-nilai kemanusiaan universal.

Bukan saja pada anak. Tapi saya saja sebagai guru, justru belajar banyak hal dari film Shiva itu. Pada titik ini, saya pun menjadi risau jika para generasi kita saat ini lebih menghabiskan waktu untuk nonton sinetron-sinetron Indonesia yang tak berfaedah itu. Anak berumur 3 tahun sudah mulai nonton sinetron cinta. Lalu di dalamnya ada adegan peluk-pelukan dan kecup-kecupan. Di tambah lagi cara berpakian yang hanya tali satu.

Itulah sebabnya, kita tidak perlu heran jika di sana-sini terdengar berbagai penyimpangan seks yang disutradarai oleh anak-anak. Di sinilah tugas orang tua sebagai agen sosialisasi yang pertama dan terutama harus diperankan secara bertanggung jawab.

Ulasan ini pernah ditayangkan pada media Banera.id

Posting Komentar

0 Komentar