bsd.pendidikan.id
Media Flores Pos, 16 Mei 2018 memublikasikan opini bertajuk “Sekolah Primadona dan Gereja (Mahal, Elitis dan Diskriminatif) karya Louis Jawa (LJ), seorang Pastor Kampung tinggal di Manggarai. Dari keseluruhan isinya, saya tertarik untuk menelaah sisi keuangan sekolah dalam kaitannya dengan kualitas khususnya sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh institusi agama terutama Gereja yang identik dengan elitis dalam pembiayaan.
Nominasi 10 besar dalam UNBK SMA 2018 didominasi oleh sekolah-sekolah swasta yang dikelola oleh institusi Gereja. LJ berpendapat bahwa prestasi dijadikan indikator untuk tetap elitis. Penerapan biaya mahal dan ketat dalam seleksi sangat dipertahankan.
Legitimasi terhadap tesis sekolah mahal dan elitis sebagaimana termaktub pada status pengguna media sosial Facebook Geradus Kuma Apeutung, sekaligus melatarbelakangi LJ untuk menulis gagasan dalam bentuk opini diamini. Jadinya, kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa ala pendidikan sebagaimana digagaskan Louis Althusser, seorang filsuf Marxis asal Aljazair akan kian kuat.
Sekadar diketahui, Louis Althusser menegaskan bahwa institusi pendidikan merupakan bagian dari aparatus ideologi yang mengajarkan know-how sebagai kepatuhan terhadap ideologi yang sedang berkuasa. Karena itu, tidak terelakkan bahwa kepentingan penguasa akan tersampaikan melalui sekolah atau kampus yang menyata dalam bentuk kebijakan-kebijakannya (Kompas.com, 27/7/2011).
Elitis yang Ompong
Memberikan apresiasi atas keberhasilan adalah sesuatu yang konstruktif. Benar bahwa prestasi yang diraih oleh sekolah dengan biaya mahal adalah gambaran sekolah yang ideal. Indikator yang diambil LJ adalah seminari. Dengan biaya cukup mahal, displin tinggi, seleksi yang ketat dan berasrama, dan dengan jumlah peserta UNBK berkisar antara belasan hingga duapuluhan orang, wajarlah jika output-nya berkualitas. Inilah contoh pendidikan ideal dan elitis.
Namun tentu tidak dapat diingkari bahwa ada fakta kontradiktif. Sekolah swasta lain yang berbiaya cukup mahal, misalnya, mendidik ratusan peserta didik bahkan ribuan. Kapasitas asrama kurang memadai untuk menampung peserta didik, demikian juga jumlah peserta UNBK berkisar limapuluhan hingga ratusan. Dengan keadaan begitu, sekolah-sekolah tersebut toh masuk nominasi 10 besar. Tentu ini tetap elitis dalam kaitan dengan biaya sekalipun kurang ideal dalam proses pendidikan.
Diakui bahwa sebuah lembaga pendidikan akan kurang kendalanya bila melakukan proses seleksi yang superketat sejak SMP, sekaligus jumlahnya sedikit serta berasrama. Sebaliknya mendidik anak dengan pola proses dalam jumlah banyak tentu merupakan sebuah pekerjaan yang cukup sulit. Dalam bahasa LJ, “Realitas sekolah pada umumnya, pelajar dari beragam SMP dengan proses yang cukup massal, namun dengan hasil yang maksimal.” Jadinya, untung-untung kalau ada prestasi.
Fakta juga menunjukkan bahwa dalam UNBK dua tahun terakhir, ada banyak sekolah swasta favorit lainnya yang tidak masuk 10 besar. Bahkan ada juga seminari yang tidak masuk 10 besar. Sekolah demikian, apakah masih pantas dilabeli dengan sekolah favorit? Apakah masih layak sekolah tersebut menerapkan biaya mahal dan seleksi yang superketat?
Setidaknya, keadaan ini bisa dinilai: inilah fakta elitis yang ompong. Karenanya, apresiasi juga diberikan sekadarnya, atau secara ekstrem boleh dibilang “jangan mengagungkan, apalagi dengan pujian ompong”. Dengan itu, pernyataan bahwa
“Sungguh menyedihkan bila pendidikan yang berkualitas hanya dinikmati oleh orang yang memiliki uang, dengannya sekolah milik Gereja menjadi elitis, eksklusif dan diskriminatif” (LJ paragraf 3) menjadi relevan sekaligus ingkar. Relevan karena pendidikan berkualitas dimiliki oleh orang-orang yang beruang (juga jadi elitis, eksklusif, diskriminatif); sekaligus ingkar karena tidak semua sekolah yang menerima orang-orang beruang itu berkualitas.
Sekolah swasta berbiaya Rp 2.000.000 ke bawah sulit ditemukan. Karenanya, adalah lebih baik bila lembaga pendidikan menghindari kepatuhan terhadap ideologi pihak yang sedang berkuasa ala pendidikan.
Runtuhkan Tesis Elitis
Mungkin pernah diketahui bahwa Kelompok Tiga Puluh Tyrannoi yang menguasai Athena (404-403 SM) adalah diktator yang sangat kejam nan jahat. Mereka haus kekuasaan, rakus harta kekayaan sekaligus tidak bermoral. Mereka sering bertindak sewenang-wenang dengan dalih demi stabilitas dan kepentingan umum, padahal sebenarnya tidak lain demi keamanan dan kepentingan kelompok mereka sendiri. Pada saat itulah Plato menyaksikan bagaimana negara telah dijadikan instrumen untuk memuaskan keinginan para penguasa.
Karenanya, dalam pikiran Plato terlintas kehendak untuk menciptakan sebuah negara ideal yakni negara yang bernapaskan keadilan, bebas dari penguasa destruktif dan para pemimpin yang bertindak sewenang-wenang (Johanes Mardimin, 1996:7).
Kembali kepada persoalan pendidikan, hemat saya, penerapan biaya mahal pada sekolah swasta yang hanya bisa dijangkau oleh kaum beruang adalah sebuah praktik ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Kurang lebih, praktik itulah yang pernah Plato saksikan, rasakan dan lawan pada masanya. Realitas demikian harus dikritik, dibongkar, diruntuhkan dan diberikan solusi serta segera dibenah.
Ada dua lembaga pendidikan, sejauh yang saya tahu, peduli terhadap ekonomi masyarakat dan serius dalam proses pendidikan yakni SMAK Regina Pacis Bajawa di Kabupaten Ngada dan SMAK Reo di Kabupaten Manggarai. Dua lembaga ini menampilkan bahwa sekolah swasta milik Gereja tidak identik dengan elitis dalam biaya. Karena itu, saatnya sekolah swasta segera memaknai otonomi pendidikan secara inklusif untuk menghindari kooptasi sektor lain.
Dalam era globalisasi, pendidikan harus dibebaskan dari penentuan ketat dan absolut dari dominasi sektor ekonomi. Otonomi pendidikan harus dimaknai sebagai sebuah langkah pembebasan dunia pendidikan agar cita-cita pendidikan yakni membebaskan manusia secara universal dapat tercapai (Paulus Budi Kleden, Teologi Terlibat, 85).
Seyogiyanya pendidikan bersifat
solider dan humanis. Institusi agama khususnya Gereja haruslah berkaitan erat
dengan proses pendidikan yang bermartabat luhur dan menjadi sekolah iman.
Setidaknya, kita bisa katakan elitis dalam mutu, populis dalam pelayanan (hight
quality, low cost), sebuah moto SMAK Regina Pacis Bajawa.***
Tulisan ini pernah ditayangkan pada media Flores Pos, 26 Mei 2018
2 Komentar
selamat pagi. Luar biasa gaya kepenulisan dan diksi yang dimainkan.
BalasHapusterima kasih guru
BalasHapus