Judul Buku : Pulang ke Rinduku
Penulis : Emanuel Djomba
Penerbit : Carol Mumere (PCM)
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : xx + 88 Halaman
ISBN : 978-979-1407-79-3
Membaca 28 puisi yang termuat dalam buku Pulang ke Rinduku langsung membawa pikiran saya pada dua kata kunci yakni Komitmen Untuk Pulang dan Tidak Lupa Jalan Pulang.
Pertama, komitmen untuk pulang. Bagi penulis, pulang tidak hanya sekadar dirasuki oleh rasa rindu semata. Tapi lebih daripada itu, pulang adalah sebuah komitmen moral sekaligus menjadi kebutuhan mutlak.
Komitmen
pulang selalu mengandaikan sebuah perjuangan. Dalam perjuangan pun
harus ada darah, keringat dan air mata. Menyadari akan semua ini, maka,
sebagai pribadi yang rapuh, pantas dan layaklah jika penyair mendasari
komitmenya untuk pulang dengan selalu mengandalkan Tuhan. Untuk itu,
Puisi pertama yang berjudul Di Sini Engkau Lahir sebetulnya mau menegaskan bahwa Tuhan adalah segalanya bagi seorang Emanuel Djomba.
Oleh karena pulang adalah sebuah komitmen demi pelayanan dan menyuarakan kebenaran, maka “Pulang ke Rinduku” sebetulnya juga adalah ungkapan kerisauan hati penulis terkait dengan berbagai keterpecahan kita dari sebuah kebenaran.
Bahwa bagi Emanuel yang hari-harinya bekerja sebagai seorang jurnalis, ia selalu diperhadapan dengan berbagai macam realitas sosial. Baik yang suka maupun duka. Yang duka misalnya, adanya realitas pasung dan pembungkaman mulut terhadap ketidakberesan sosial demi kepentingan diri atau kelompok.
Bahkan, tak jarang “Sang Ada” yang mengadakan manusia, acapkali diabaikan oleh karena hal-hal yang duniawi dengan segala kemegahannya. Akibatnya, keserdahanaan cinta “Sang Ada” tidak lagi menjadi dasar pijak dalam bertutur maupun bertindak.
Hemat saya, atas berbagai fakta miris inilah yang mendorong penyair untuk menyuarakan kerinduan dan komitmenya untuk pulang. Pulang pada situasi hidup yang humanis dan kritis.
Yang salah katakan salah, yang benar katakan benar.
Untuk menggapai asa ini, Emanuel Djomba menggugah eksistensi manusia lewat puisinya yang berjudul Kerja Belum Selesai. Dan memang, kerja untuk hal baik belum selesai. Untuk itu, membutuhkan semangat kolektif. Di sana kita butuh orang-orang terdekat kita, tokoh-tokoh pencinta kebenaran dan juga “Sang Kebenaran” itu sendiri.
Penyair menyadari bahwa bekerja untuk kebenaran, kritis dan berani menyingkap kegelapan dosa sosial tidak akan pernah terselesaikan. Sebaliknya, membutuhkan semangat juang pantang menyerah
Dan untuk hal di atas, penulis menawarkan harapan lewat puisinya yang berjudul Masih Ada Fajar. Bahwa, untuk menggapai asa akan kerinduan hidup yang diilhami “Sang Raja Cinta” selalu ada pagi untuk merajut kembali keterpecahan akan kebenaran.
Pada aras ini, Pulang Ke Rinduku adalah sebuah cerminan perjuangan hidup yang nyata dari hakikat diri seorang Emanuel Djomba. Bahwa Pulang Ke Rinduku bukan hanya sekadar menengok sesaat.
Namun, pulang dalam kaca mata Emanuel adalah bentuk kepedulian, komitmen dan merupakan kebutuhan untuk pulang kembali pada rahim yang telah melahirkanya. Karenannya, pulang untuk melayani rahim itu tak harus punya kuasa, kursi atau jabatan. Untuk itu, puisi berjudul Gita Desa, seakan mau menegaskan bahwa pulang ke Desa adalah sebuah komitmen.
Desa bagi penyair menyimpan banyak kisah. Banyak yang tak bisa bersuara yang harus dibantu. Juga jejak para petani yang harus dirawat hingga keabadian. Pulang juga mau menegaskan bahwa semangat kerendahan hati tak pernah boleh lelah. Ini diperkuat oleh puisi yang berjudul Merendah Zaman: “Mengurai langkah menghitung jejak. Dalam aras zaman tak pernah lelah”.
Kedua, lupa Jalan Pulang. Sebenarnya, Pulang ke Rinduku juga adalah semacam gugatan bagi insan-insan yang seringkali lupa jalan pulang. Entah disengajakan atau tidak disengajakan. Tapi pada intinya lupa jalan pulang adalah identik dengan keseombongan dan keangkuhan.
Fakta semacam ini, sering kita saksikan, bahwa, kebanyakan orang, rindu pulang ketika ada kepentingan yang amat politis. Dan ketika kepentingan itu sudah terakomodir biasanya sengaja lupa atau tak tahu jalan pulang.
Untuk itu, bagi yang sering lupa jalan pulang, mari saya mengajak untuk merenung bersama penyair lewat bait-bait puisi yang dipenuhi oleh gugatan dan nyanyian untuk pulang.
Tuhan tidak pernah menjanjikan rindu pulang ke pelukan senja, melainkan bersama penulis, Tuhan selalu mengajak kita untuk selalu rindu pulang ke pelukan fajar pagi. Akhirnya, kerinduan hati penyair harus menjadi kerinduan kita juga.
Ajakan sekaligus penguatan itu, sangat jelas termaktup pada puisi Masih Ada Fajar. Bahwa bagi yang berjuang tanpa ada iming-iming kepentingan yang destruktif, di sana selalu ada “Fajar” yang mampu menerangi setiap perjuangan setiap insan dalam hidup yang fana ini.
Akhirnya, saya patut mengucapkan kata salut, sebab, puisi-puisi Emanuel Djomba bukan lahir dari ilusi dan kiasan kata indah belaka, tetapi penuh lecutan yang diangkat dari realitas sosial yang berserakan. Juga menggambarkan kepribadian penulis sesungguhnya yang dipindahkan ke atas kertas.
Latar belakang sebagai seorang jurnalis mewarnai seluruh proses kreatifnya dalam mengubah fakta menjadi karya imajinatif dengan bungkusan diksi yang ritmis dan kaya arti.
Mari berkomitmen untuk pulang dan tak boleh lagi untuk lupa jalan pulang yakni orang-orang kecil dan juga sesama yang kita layani dalam keseharian hidup kita masing-masing, di mana saja kita berada.
Catatan: penyair Emanuel Djomba meminta penulis untuk membuat endorsement, dan resensi ini, adalah hasil olahan ulang dengan berbagai penambahan pada bagian-bagian tertentu yang dianggap penting.
Boy Zanda
Resensi ini pernah ditayangkan pada media ArnoldusWea-25 Sepetember 2019
0 Komentar