Politik Kepentingan adalah “Agama Baru” yang Selalu Disembah Sujud


                                     sumber; radioidola.com


Katanya politik itu adalah seni. Seni dalam mengelolah berbagai kemungkinan menjadi mungkin—artinya mengunakan cara-cara yang humanis.

Katanya politik itu adalah seni. Seni dalam mengelolah berbagai kemungkinan menjadi mungkin—artinya mengunakan cara-cara yang humanis. Biar politik adalah seni itu tetap menjadi warna yang unik ditengah keberagaman perbedaan. Alhasil ruang untuk mempersoalkan perbedaan itu tak lagi mendapatkan tempatnya. Sebab seni berpolitik dan bahkan cinta yang tulus selalu lahir dari perbedaan itu sendiri.

Secara idealis, pernyataan dan ulasan tentang hakikat politik di atas adalah benar adanya. Dan memang harus begitu adanya. Namun jika kita menengok pada realitas yang terjadi, idealis itu hanyalah pemanis bibir yang mudah diucapkan namun enggan dan bahkan jauh dari dunia praksis.

Untuk itu, ijinkan saya untuk menarasikan berbagai fakta yang saya lihat dan alami seputar politik tanah air. Kita bisa dan langsung membayangkan bagaimana dinamika Pemilihan Umum tahun ini (2019) dan juga tahun-tahun sebelumnya. Di mana panggung perpolitikan kita tak lagi menampilkan seni politik yang sesungguhnya.

Sebaliknya yang seringkali muncul bahkan digemari oleh para politisi tanah air adalah politik kepentingan yang sangat destruktif. Untuk apa? Ya, untuk mengamankan kepentingan itu sendiri. Akhirnya, agama, budaya, partai, ideologi, golongan bahkan harga diri pun gampang bahkan direlakan untuk dipolitisasi demi menggapai kepentingan politis individu maupun kelompok itu sendiri.

Selain itu, rakyat yang memiliki ketulusan dan kepolosan hati dipengaruhi sedemikian rupa agar mereka juga terperangkap di dalam jurang politik kepentingan sempit dan merusak. Banyak rakyat pun akhirnya jatuh dalam genggaman tangan para elit yang haus dan nafsu akan kuasa itu—bahkan tak bisa bangkit lagi. Dalam keadaan seperti ini, rayat akan sangat mudah di adu domba. Sikap saling cemooh serentak menghiasi hidup manusia, baik dalam dunia maya maupun dunia nyata.

Ketika permusuhan antar masyarakat kecil semakin kuat dan berkepanjangan—para kaum elit justru sebaliknya. Yang dahulu bermusuhan, tiba-tiba sudah saling berpelukan. Yang dahulu tidak searah, tiba-tiba seiring sejalan.

Ketika rakyat kecil mulai fanatik dan mendewakan politik kepentingan—saat bersamaan para elit politik tertawa terbahak-bahak. Ketika rakyat kecil sudah termakan virus politik destruktif hingga pada pengorbanan harga diri dan nilai-nilai kebenaran—para elit justru duduk pada kursi empuk kekuasaan sembari bergoyang kaki ria.

Sekelompok rakyat kecil yang sudah dimabukan oleh racun kepentingan politik yang ganas takkan pernah sadar bahwa politik kepentingan hanyalah panggung sandiwara. Tak ada kawan sejati atau musuh sejati—yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Tak ada kejujuran yang paling tulus—yang ada hanyalah kejujuran ada tapian. Tak heran jika para elit politik bisa gonta-ganti pasangan politik semau gue—sedangkan bagi masyarakat yang menjadi korban, penghayatan politik adalah perpecahan dan permusuhan yang abadi.

Alhasil, suara rakyat yang adalah suara Tuhan hanya sebatas menggema dibibir saja tanpa makna dalam dunia praksis. Suara rakyat sering dihempas dengan cara-cara mengganaskan. Virus politik kepentingan menjalar begitu cepat untuk merusak tatanan agama, budaya dan ideologi. Dampaknya, politik kepentingan menjelma menjadi “agama baru” yang terus disembah sujud tanpa henti. Entahlah sampai kapan berakhirnya—aku juga nggak tahu. Mungkin tanyakan saja pada rumput yang bergoyang—bukan begitu, Mas Ebit?

Coba renungkan, jikalau hidupmu sebagai masyarakat kecil dilanda kesusahan, yang menolongmu bukan para elite politik yang selalu tertawa oleh kebodohanmu itu, melainkan sahabat, saudaramu dan tetangga terdekatmu itulah yang paling pertama menolongmu.

Hidup, persahabatan, relasi cinta tanpa syarat yang telah dibangun sejak lama jauh lebih berharga untuk dikorbankan demi kepentingan orang lain dan juga demi penyembahan "agama baru" yang tak berfaedah itu.

Bagi masyarakat kecil yang mungkin pernah jatuh dalam jurang yang diciptakan oleh para elite, segeralah kalian sadar. Atau mungkin masih ada keinginan untuk coba-coba bergabung, segera batalkan rencana itu. Ketahuilah bahwa Tuhan sudah menciptakan kita unik dan yang paling mulia dari semua ciptaaNya.

Ketahuilah, bahwa kebahagiaan hidup bukan ditentukan oleh kuasa dan uang. Melayani tak harus memiliki sederet kursi kekuasaan dan jabatan yang mentereng. Seyogyanya, kita diciptakan untuk saling melayani tanpa tapian.

Berhentilah menyembah atau mencoba menyembah terhadap “agama baru” buatan para politis yang tak bermoral itu. Sebab mereka lebih mementingkan uang, jabatan dan kuasa ketimbang menumbuh kembangkan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Esai ini pernah ditayangkan pada media Terminal Mojok

Posting Komentar

0 Komentar