Sekolah tidak hanya merupakan gudang tempat semua ilmu digumuli dan ditransfer ke dalam diri anak didik. Lebih dari sekadar gudang ilmu, sekolah adalah dapur nilai, tempat semua nilai kebaikan ditanamkan ke dalam diri anak atau peserta didik. Dalam konteks seperti ini, kita bisa memaknai aspek kontinuitas dan diskontinuitas antara sekolah dan masyarakat.
Pertama, aspek kontinuitas. Sekolah tentunya memiliki relasi erat dengan masyarakat. Artinya, apa yang diajarkan di sekolah tentunya bertujuan untuk mempersiapkan seseorang menghadapi kehidupan nyata di tengah masyarakat. Sebab itu, sekolah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Kedua, aspek diskontinuitas. Sekolah memang memiliki hubungan erat dengan masyarakat, tetapi ini tidak berarti sekolah sama dengan masyarakat. Jika sekolah sama dengan masyarakat, tidak ada proses timbal-balik. Dalam hal tertentu, sekolah memiliki jarak (diskontinuitas) dengan masyarakat. Jarak yang dimaksud adalah penilaian dari sekolah terhadap masyarakat. Sebagai contoh, jika masyarakat yang ada merupakan masyarakat yang penuh dengan relasi sosial yang buruk seperti konflik berkepanjangan, sekolah seharusnya menjadi ‘penjinak’ bagaimana masyarakat tersebut bisa memliki relasi antarwarga yang normal. Para peserta didiknya dimotivasi dan ditanamkan nilai-nilai kehidupan bersama yang harmonis. Jika masyarakat yang ada adalah masyarakat yang dipenuhi oleh para penjudi, sekolah harus menjadi titik untuk mengubah lingkungan masyarakat tersebut dengan menanamkan nilai kerja keras dalam diri anak didiknya dan bukan malah menjadi motivator perjudian.
Karenannya, sekolah/ lembaga pendidikan harus dihuni oleh para pendidik yang tangguh.
Untuk itu saya menawarkan dua dasar, yang kiranya dapat melahirkan para pendidik yang tangguh.
Guru Gelisah
Pertanyaannya: ‘Apakah seorang guru harus gelisah? Untuk apa guru harus gelisah? Kalau guru harus gelisah, bagaimana siswanya? Merujuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), gelisah adalah keadaan dimana seseorang merasa tidak tenang, selalu merasa khawatir. Ketidaktenangan (gelisah) seorang guru mesti dikonotasikan secara positif. Seorang guru harus gelisah terkait kapasitas dan eksistensinya. Bahwa eksistensi seorang guru sangat ditentukan oleh kapasitasnya dan kapsitas guru pun sangat ditentukan oleh guru itu sendiri.
‘Guru Gelisah’ adalah konsekuensi logis dari tuntutan penguatan kapasitas terkait dengan eksistensinya, sekaligus dampak dari kemajuan yang kian cepat. Kemajuan (baca: perubahan) tidak lagi dalam hitungan tahun, bulan, minggu, atau hari saja, tetapi setiap jam dan detik. Semua terus berubah. Perubahan ini yang menuntut guru, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menyelaraskannya dengan upaya meningkatkan kualitas diri. Semisal, penguasaan teknologi sebagai media pembelajaran di kelas sangat dibutuhkan zaman. Oleh sebab itu, untuk mengimbangi derasnya arus teknologi kekinian itu, gagap teknologi (gaptek) antara generasi X, Y, dan Z tidak boleh menjadi alasan untuk berhenti belajar dan kalah dalam menghadapai gempuran kemajuan zaman itu sendiri. Sebaliknya, menjadikan perbedaan generasi tersebut untuk saling melengkapi satu sama lain.
Sebab pilihan menjadi guru adalah keputusan sadar untuk menyuarakan kebenaran dan keteladanan hingga keabadian. Tanpa itu, guru hanya akan menjadi agen hoaks, penyebar ujaran kebencian yang intoleran, pemupuk mental instan, pelaku tindak kekerasan, dan akan menjadi ‘mumi’ zaman.
Saya tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa semua guru berada di barisan ini. Masih ada banyak guru yang tak jemu-jemu meningkatkan kemampuan diri untuk terus belajar. Guru pembelajar! Namun, kita juga tidak bisa menutup wajah, bahwa masih banyak guru yang nyaman-nyaman saja menjalani profesinya. Misalnya, guru tidak lagi punya hobi membaca, apalagi menulis. Tidak heran, gampang jatuh termakan hoaks. Bahkan menjadi agen hoaks. Detik.com (18/03/2018) melansir berita bahwa Guru SMA Di Pematang Pasir, Tanjung Balai, Lampung, Rukiyah meminta maaf kepada PDIP karena menyebar berita hoaks tentang Megawati Soekarno Putri. Bahkan, berita hoaks tersebut terjadi saat KBM di kelas bersama anak didiknya. Sungguh miris, bukan? Ini hanya salah satu contoh, yang kalau kita telusuri di banyak media, akan ditemukan berbagai kejadian serupa.
Lalu, menjelang
kenaikan pangkat, tipikal guru macam ini pun akan tenang-tenang saja. Nanti,
karya tulis untuk mendukung angka kredit cukup dengan membayar jasa para
penulis artikel atau jenis tulisan lainnya. Padahal dengan menulis, guru justru
menambah perbendaharaan kompetensi, kapasitas, serta eksistensinya.
Sebab pilihan menjadi guru adalah keputusan sadar untuk menyuarakan kebenaran dan keteladanan hingga keabadian.
Mohammad Saroni dalam bukunya “Personal Branding Guru” menyoroti bahwa guru dan kualitas dirinya merupakan dua hal yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan pada saat berharap dapat meningkatkan keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran (2011:28). Saroni juga mengatakan, guru harus selalu mengevaluasi dirinya dan segera melakukan rehabilitasi kompetensi jika ternyata tingkat kualitas dirinya rendah dibandingkan dengan kualitas siswa atau masyarakat pada umumnya.
Apa yang dikatakan Saroni selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tempat ruang belajar siswa dimungkinkan terjadi tanpa harus menunggu transfer ilmu dari guru semata, karena mereka bisa memperolehnya melalui media massa dengan berbagai kemudahan. Bahkan fenomena bimbel (bimbingan belajar) luar sekolah yang menarik orangtua mengikutkan anaknya, boleh jadi menyiratkan guru dan kualitas dirinya mulai diragukan. Karena itu, guru hari ini tidak boleh berada di zona nyaman – guru haruslah terus mencari karena ‘gelisah’ terhadap banyak kekurangan yang belum terpenuhi.
Dalam suatu kesempatan di awal bulan Mei 2018, salah seorang motivator nasional, Johny Kilapong, bicara di hadapan sekitar 200 guru di aula kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Ngada, NTT. Dia mengatakan, dunia pendidikan adalah dunia baca, dunia literasi, dan dunia keteladanan. Semuanya dimulai dari guru. Tanpa membaca, guru mau ajar apa? Guru mau meneladani apa?
“Paling-paling guru hanya bisa mengajarkan ketidaktahuannya kepada siswa,” katanya.
Pernyataan Johny Kilapong sama halnya dengan Hendy Hermawan dalam buku ‘Guru Menulis di Media Massa.” Dikatakan, untuk mengubah paradigma pembelajaran, itu lebih cepat terjadi kalau guru banyak membaca dan kemudian mengekspresikan hasil bacaan itu ke dalam tulisan, apa pun bentuknya (2006:7). Baik Johny Kilapong maupun Hendy Hermawan, keduanya menyiratkan bahwa guru tidak boleh berhenti mencari. Mencari untuk meningkatkan kualitas diri. Dan, proses mencari hanya mungkin melalui membaca dan mengejawantahkannya melalui tulisan. Seseorang yang membaca dan berkemampuan menulis memiliki wawasan yang luas, berpikir jernih, serta mampu bertindak tepat selaras zaman.
Sikap ‘mencari’ terus-menerus mesti menjadi brand utama dalam hidup para guru, dewasa ini. Sikap memelihara kegelisahan dapat mengubah gaya hidup yang cenderung mendandani diri sebatas leher ke bawah (urusan fisik belaka) dengan mengubah paradigma menuju sebuah gaya hidup dengan mendandani batas leher ke atas (urusan isi kepala). Guru tidak bisa hanya diam atau merasa nyaman. Yang penting masuk kelas, tak peduli sikap siswa di luar kelas serta bagaimana prestasi siswanya. Intinya, habis bulan terima upah. Jika demikian, guru model ini siap-siap digilas roda zaman hingga hancur tanpa sisa.
Guru Berpikiran Radikal
Sikap bertanya atau
mencari sampai ke akarnya – sampai menemukan solusi – adalah salah satu sikap
ilmiah atau yang disebut sikap radikal. Radikal dilihat dari asal katanya dalam
bahasa Latin, radix yang artinya akar. KBBI mengartikan istilah ini
sebagai segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akar-akarnya atau
sampai pada prinsipnya. Dapat juga diartikan sebagai sifat maju dalam hal
pola pikir dan tindakan humanis.
Karenannya, guru mesti terus ‘bertanya’ hingga dia menemukan akar citra diri sebenarnya sebagai guru.
Jadi, guru yang betah di zona nyaman adalah guru yang idealismenya sudah mati. Guru yang berkompromi dengan ketidakmampuan adalah lonceng kematian bagi kualitas pendidikan. Namun, dengan berpikir radikal, guru terus bertanya dan terus belajar (mencari). Ibarat ikan dan air, seorang guru harus terus berenang dalam kegelisahannya hingga dia menemukan jawaban atas kegelisahannya sendiri. Denganya, guru yang gelisah dan berpikir radikal akan mampu menjadi teladan bagi anak didik juga masyarakat. Sehingga, harapan akan perubahan yang humanis dan berkarakter akan terjadi dari titik awal pendidikan untuk hidup yang layak dan bermartabat. Bukan dari nilai yang tinggi atau sejuta gelar yang mentereng.
Oleh sebab itu, guru gelisah dan berpikiran radikal sejatinya mau menegaskan bahwa profesi guru adalah panggilan jiwa, yang darinya guru harus memperbarui diri dan kapasitasnya secara berkelanjutan agar eksistensi dan keteladananya tetap harum mewangi menguasai setiap hati para generasi juga dunia pendidikan. Rahim pendidikan akan jadi kuat, darinya guru tangguh dilahirkan.
Jika para guru ingin menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, silakan mencoba dua dasar yang saya tawarkan ini.
Selamat mencobah, Anda pasti bisa.
Salam Literasi!
Tulisan ini pernah ditayangkan pada media online HorizonDipantara, 25 Januari 2019
0 Komentar