MEMBANGUN DENGAN PERSPEKTIF EKOLOGIS


                                                                      sumber; id.innerself.co

Pembangunan selalu dimaknai sebagai suatu upaya sistematis yang dilakukan oleh manusia demi mencapai ideal kesejahteraan. Pada titik ini, pembangunan adalah proses menuju humanisasi. Secara simultan pembangunan juga harus berwajah ekologis. Dasar filosofis seperti ini harus menjadi roh dan sprit dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya terejawantahkan dalam setiap cara pikir dan tindak manusia itu sendiri dalam proses membangun.


Namun, pembicaraan tentang pembangunan akan bernada minor bahkan keropos, manakala manusia itu sendiri bertindak sambil mencederai nilai luhur pembangunan dengan mencabik wajah alam secara masif. Akhirnya roh dasar pembangunan berbeda dengan fakta yang seharusnya. Yang terjadi justru pembangunan yang destruktif. Bahkan mengerikan. Manusia dengan segala hak otonom dan sok tahunya itu, memperkosa alam hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Mental instan dan menghalalkan segala cara pun didewakan. Karenanya, tak heran jika pemberitaan pada media selalu menghidangkan berbagai realitas pengerusakan alam yang diakibatkan oleh keserakahan manusia itu sendiri.

Sebagai contoh; perilaku sebagian masyarakat yang sering membuka lahan pertanian dengan cara memabakar hutan, maraknya perilaku para pemimpin; baik pusat maupun daerah yang doyan memberi Izin Usaha Pertambangan yang hasilnya lebih menguntungkan penguasa (kapitalis) ketimbang masyarakat kecil, maraknya penggunaan bom ikan serta limbah industri turut menyumbang pengerusakan ekosistem laut.


Hasil analisis Tekonologi Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi Yanto Sugiharto menegaskan, pencemaran lingkungan juga banyak disebabkan oleh limbah padat maupun cair yang dihasilkan dari aktivitas pelyanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan klinik kesehatan) sedangkan limbah dari kegiatan domestik yakni perhotelan, perkantoran, rusunawa, rumah tangga dan pemukiman warga yang suka membuang sampah tidak pada tempatnya (detikfinance, 21/12/2018).


Nah, pada saat alam sudah mengalami kerusakan yang parah, serentak manusia juga dengan tegas berkata; “alam sudah tak bersahabat lagi dengan manusa”. Lalu, manusia seakan lupa diri bahwa keburaman wajah alam itu, disebabkan oleh sikapnya yang rakus bahkan nafsu yang sangat berkelebihan itu. Padahal, ketika manusia coba memotret kembali dan menginterprestasikan pengaruh perilaku dan kebijakan manusia terhadap alam lingkungan, maka pengaruh itu secara nyata lebih bernuansa negatif. Ya, sangat destruktif.


Pada titik ini, dalam potret lingkungan hidup yang sudah dilecehkan itu, manusia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Artinya ada penyesalan. Dan ini juga menjadi titik balik untuk berdamai dengan alam. Relasi manusia dengan alam harus dirajut kembali. Sebab alam bukan saja sebagai warisan bagi manusia zaman kini, melainkan juga pijakan kehidupan bagi para generasi yang akan datang.


Bagaimana itu dilakukan? Caranya mulai membangun kesadaran ekologis sejak dini, sejak anak manusia itu dilahirkan ke dunia ini. Harus ada kesadaran bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup dengan mengandalkan dirinya. Ia membutuhkan sesama dan lingkungan hidup yang mengintarinya. Lebih dari itu, manusia juga sangat bergantung pada alam. Ada relasi yang saling membutuhkan antara manusia dan alam. Kesadaran seperti ini pertama-tama harus dihidupi dalam lingkungan keluarga.


Untuk itu, mungkin cukup tepat, jikalau penulis meminjam konsep Heidegger tentang bumi. Bahwa manusia adalah makhluk yang berada dalam rahim bumi dengan cara beradanya sendiri. Dengan demikian, letak utama relasi manusia dengan lingkungan termaktup pada cara bagaimana manusia mengkoordinasikan dunianya dan juga dirinya. Sehingga relasi dialogal manusia dan alam dapat dianalogikan sebagai relasi ibu dan anaknya. Bumi sebagai ibu tentunya telah mengadakan segala potensi yang dapat dipakai oleh manusia dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Di sini alam sungguh menjadi ibu yang mencintai dan merawat anaknya (manusia) dengan sangat sungguh-sungguh.


Oleh karena itu, sikap menghormati dan mengharagai lingkungan hidup telah menjadi salah satu sendi pembentukan gerakan keprihatinan manusia kini, juga yang akan datang. Ya, harapanya memang harus begitu adanya. Itu berarti setiap ikhtiar pembangunan yang akan menggunakan jasa alam dan juga hasil alam, harus tetap berpedoman pada konsep hati yang analogis itu sendiri. Ini harus menjadi isu bahkan roh penggerak bagi manusia, agar disanggupkan untuk berperilaku seturut etika ekologis.


Sebab, harapan bahwa pembangunan tak harus merusak wajah alam, tak akan terwujud jika hanya sebatas keprihatianan belaka, opini atau hanya mengeluh melulu.


Namun lebih daripada itu, apa yang dikatakan dan dikonsepkan harus secepatnya dituangkan dalam tindakan konkret. Usaha-usaha ini bisa bersifat pribadi, dan juga bisa bersifat kolektif. Pemerintah harus tetap menyodorkan kebijakan politik yang tetap berwajah ekologis. Tidak boleh semena-mena. Masyarakat juga demikian, harus tetap konsisten untuk tetap hidup selaras dengan alam lingkungannya. Memulainya dengan hal-hal kecil, itu sudah luar biasa. Misalnya merawat lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan dan membiasakan hidup bersih. Dengan demikian, alam akan tetap asri dan terus memberikan sesuatu yang berguna bagi manusia. Salam ramah lingkungan*


Artikel ini pernah ditayangkan pada media ekorantt, Februari 2019

 

Posting Komentar

3 Komentar