Guru adalah profesi yang mulia dan juga sumber kebenaran. Amanah yang sangat besar ini harus dicintai dan dijalankan dengan melibatkan segenap kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual. Karena itu, guru dituntut untuk menjadi pribadi yang tangguh, selalu siap mengemban amanah tersebut.
Itulah sebabnya, guru adalah ujung tombak peradaban manusia. Terkait ini, sebuah kisah popular Sesaat setelah pengeboman Hirosima dan Nagasaki berlangsung, Sang Kaisar melihat kehancuran terjadi di mana-mana. Semua kavaleri hancur. Tetapi hal pertama yang ditanyakan oleh sang Kaisar adalah, “berapa banyak guru yang masih tersisa?” Sang Kaisar percaya bahwa Jepang hanya bisa dibangun dengan mengefektifkan peran para pendidik. Gurupun selalu dikenal dan dikenang sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan indikator peradaban dunia. Namun kita bertanya, apakah masih pantas dan relevan guru masa kini menjadi aktor peradaban?
Manggugat Semangat Guru
Kualiatas pendidikan Indonesia yang selalu bergerak turun menurut indikator pelbagai lembaga, yalni Programme for International Students Assessment (PISA) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Namun turunya kualitas pendidikan belum dijadikan sebagai dasar untuk mengevaluasi performa pendidikan nasional (Kompas.com, 27/12/2017).
Hasil penilaian (PISA) menjelaskan secara terang bahwa performa pendidikan nasional belum beranjak naik signifikan. Peringkat minat baca Indonesia dalam data Words Most Literate Nations berada pada urutan ke-60 dari 61 negara. Unesco juga melansir indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001. Artinya dari 1000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca tinggi.
Untuk NTT, mutu pendidikan selalu menjadi tema yang seksi untuk terus diperbincangkan. Bukan karena prestasi melainkan keterpurukan. Urutan UN selalu menempati nomor buntut. Benarkah NTT adalah “biang kerok” dibalik rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang sempat dipersoalkan Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy? Mendikbut pernah berkomentar tajam, “Jangan-jangan sampel dari survey ini adalah siswa-siswi dari NTT” (Kompas, 13/12/2017).
Salain itu, Saat mengunjungi dan memantau pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer di SMK Negeri 01 Labuan Bajo, Kemendikbud mengajak pemerintah daerah dan masyarakat di Propinsi NTT bersama Pemerintah Pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan di NTT. Ia berharap, NTT jangan lagi ada di posisi buntut dalam perolehan hasil Ujian Nasional.
Terkait persoalan pendidikan NTT, penulis mau menyoroti dari sisi lain yakni minimnya budaya literasi dikalangan para guru. Indikatornya adalah pertama, jarangnya guru menulis di koran, majalah dan media online, padahal media cetak dan online yang berbadan hukum sudah menjamur di NTT seperti (Flores Pos, Pos Kupang, Majalah Cakrawala NTT, dan beberapa jurnal ilmiah). Jika, menulis dikoran, majalah dan media online tidak pernah, apalagi menulis karya ilmiah seperti buku. Demikian juga, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) lebih tidak lagi.
Tunjangan sertifikasi guru yang semestinya banyak digunakan untuk peningkatan kapasitas dan kompetensi guru dari yang hebat menjadi lebih hebat lagi, dalam fakta justru sertifikasi lebih banyak digunakan untuk kebutuhan perut. Karena itu, tidak heran kalau guru yang memiliki pangkat VI/a, VI/b, VI/c bisa dihitung dengan jari. Untuk fakta sementara, yang saya tahu sekaligus contoh, guru yang kenaikan pangkatnya karena rajin menulis yakni, Guru Jeni Rato golongan VI/b sebagai pengawas dinas pendidikan Kab, Ngada, Thomas Sogen golongan VI/c sebagai pengawas dinas pendidikan kota Kupang sekaligus sebagai Ketua Agupena tingkat Provinsi.
Selain itu juga, Kabupaten yang gencar dengan Asosiasi Penulis Guru Indonesia (Agupena) sangat minim. Agupena yang sangat produktif saat ini hanyalah Kabupeten Flotim, di ikuti oleh Lembata, Nagekeo dan yang baru merangkat naik untuk menghidupi Agupena adalah Kabupaten Ngada. Karenanya, jika fakta guru NTT demikian miris terhadap budaya literasi, maka janganlah heran dan jangan mengkambinghitamkan yang lain jika hasil UN NTT tetap pada posisi buntut secara nasional.
Kedua, para guru belum relevan dengan zamanya. Guru-guru yang hidup jaman now, seharusnya bersyukur bahwa kita hidup di dunia yang sudah maju dalam semua aspek. Namun kemajuan zaman dan dunia digital bukanya dimaknai dan ditangkap sebagai peluang untuk membuat para guru lebih berinovatif, berkreativitas untuk pengembangan kapasitas dan kompetensinya sebagai guru pembelajar, melainkan malah sebaliknya menginstantkan mental dan perilaku.
Kemajuan digitalisasi digunakan hanya untuk hal-hal yang tidak edukatif, misalnya menggunakan mediah sosial Facebook untuk selfi, memamerkan produk oriflame kecantikan, kegantengan, mengekspos status curhat masalah pribadi, hoaks, gossip dan hal-hal tidak edukatif lainnya.
Demikian juga, Geogle digunakan untuk plagiat RPP, silabus, soal yang kemudian menjerumuskan diri ke dalam penyakit akut mental instan. Ujungnya, terciptalah guru yang tidak relevan dengan zamanya. Namun Ia tak pernah gelisah, juga plagiat, dan merasa nyaman dengan apa yang ada. Bahwa ketidakmampuan menggunakan Information dan Technology (IT) dalam sistem pembelajaran, ketidakmampuan dalam menggunakan referensi buku dalam Bahasa Inggris, ketidakmampuan untuk menulis karya ilmiah untuk kenaikan golongan atau pangkat dianggap biasa.
Akibatnya paling parah, adalah menjadi guru jadi profesi yang biasa-biasa saja, dianggap biasa dan mental instan terus bertumbuh subur. Mentalitas guru yang demikianlah yang telah membunuh kualitas pendidikan secara nasional, sekaligus mengamini keterpurukan pendidikan NTT.
Manusia Pembelajar
Don’t stop learning adan don’t stop writeng! Jangan pernah berhenti belajar dan menulis. Ungkapan ini seringkali dialamatkan kepada guru. Karenanya, Profesi guru haram hukumnya untuk tidak bernafaskan literasi, sebab hal itu berkaitan dengan proses kegiatan belajar mengajar dan keteladanan bagi diri, pendidik dan juga masyarakat sampai mati. Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Albert Einstein, “tidak ada manusia yang tidak butuh belajar, sekalipun dia dekat dengan kematianya”.
Manusia pembelajar adalah orang yang miliki identitas. Dan guru adalah profesi yang menjadikan seseorang memiliki identitas. Guru mencintai profesi dengan mencari sekian banyak Ilmu pengetahuan dan menguasai tekhnologi untuk hal yang edukatif, bernafaskan litersi, keteladanan yang mumpuni dan mampu menciptakan brand yang selaras dengan zaman demi peradaban dunia adalah ciri khas guru yang beridentitas. Seturut Erikson, identitas itu pada hakikatnya juga bersifat “psikososial” karena identitas adalah “solidaritas batin dengan cita-cita dan identitas kelompok” (Erikson, Identitas dan siklus hidup manusia).
Menjadi guru pembelajar juga harus tetap mencintai sprit luhur dari tokoh-tokoh literat (Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, Ajip Rosidi, dan Gusdur). Mereka membaca-menulis sepanjang hidupnya. Buktinya, walaupun hidup ditengah banyak keterbatasan dan situasi penjajahan, mereka toh mampu memerdekakan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, setiap tahun kita memaknai Hardiknas dan menjadikan semboyan Ki Hajar Dewantara “Tut Wuri Handayani” sebagai napas bagi para guru.
Kita juga bersyukur bahwa pada era Jokowi, literasi menjadi salah satu program utama dalam politik pendidikan. Hal ini dibuktikan lewat berbagai program yang sudah dijalankan yakni Gerakan Indonesia Membaca (GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Di NTT sendiri, Gerakan pelatihan menulis karya ilmiah bagi para guru yang digagas oleh media Cakrawala NTT, Gerakan Koran Masuk Sekolah yang digagas oleh Rumah Literasi Cermat Ngada, dan Gerakan Agupena Flotim merasuk hingga ke semua sekolah dan guru Flotim, sebenarnya harus dimaknai sebagai pemurnian identitas guru untuk lebih beridentitas sebagai guru pembelajar.
Guru yang bernafaskan leterasi sebenarnya akan sanggup menjangkau pada empat kompetensinya yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional. Kompetensi pedagogik, berarti dengan menulis, guru dituntut untuk banyak membaca banyak referensi, berinovasi agar mampu menyusun silabus, RPP, modul, soal-soal yang berkualitas, strategi pembelajaran yang humanis dan dapat menyelesaikan tugas-tugas administrasi secara bertanggung jawab.
Kompetensi kepribadian, berarti dengan menulis guru sedang menunjukan keteladanan kepribadian. Murid yang cerdas akan makin cerdas hanya bisa dididik oleh guru pembelajar dan guru teladan. Sebab mengajar dan mendidik yang menyentuh langsung hati nurani murid hanya melalui aspek keteladanan. Jika suru murid menulis, maka guru harus lebih dahulu menulis.
Misalnya, saya mengajar anak dengan pengalaman saya menulis dan hasilnya anak gampang mengikuti apa yang diajarkan. Guru akan cerdas bukan pintar. Karena pintar belum tentu bisa tapi cerdas akan bisa berbuat dan menjadi teladan dalam banyak hal bagi murid dan masyarakat. Kompetensi sosial, berarti tulisan guru selain teladan, akan meningkatkan kompetensinya sendiri, dan lebih dari pada itu bisa mencerdaskan masyarakat. Masyarakat akan mengalami banyak hal edukatif dari tulisan seorang guru yang terbit di media massa, misalnya.
Sementara itu, Kompetensi professional, berarti dengan menulis, guru akan menguasai materi yang akan ditransferkan kepada murid. Semakin banyak sumber pengetahuan yang dikuasai oleh guru, materi ajar dikelaspun akan lebih kaya dan menyenangkan serta mudah dipahami oleh murid. Hal psikologis untuk mencapai hal ini adalah bahwa guru harus gelisah pada persoalan pendidikan anak-anak peradaban.
Oleh Bonefasius Zanda
Guru SMAK Regina Pacis Bajawa*
Tulisan ini pernah dimuat pada kolom opini media cetak Flores Pos, 23/5/2018
2 Komentar
terima aksih sudah ikut memeriahkan acara bulan bahasa dan sumpah pemuda
BalasHapusTerima kasih, Pak
Hapus