Politisasi Tambang

Sumber gambar: Tagar.id

Perhelatan pesta demokrasi untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur dan sejumlah Bupati sudah berlangsung pada 27 Juni 2018. Bagi yang menang, segera mengejawantahkan visi-misi dan janji-janji politiknya. Menang dalam arti melalui cara-cara yang demokratis bukan karena politik uang. Sedangkan yang kalah tidak perlu dendam. Namun tetap sportif, menghargai proses demokrasi sembari tetap kritis terhadap kebijakan yang menyimpang dan mendukung kebijakan yang pro rakyat.

Di balik harapan di atas, ada hal menarik yang hemat saya perlu dikawal secara ketat oleh masyarakat. Beberapa kesempatan, ketika saya mengikuti serta menyaksikan kampanye serta debat terbuka dari setiap paslon (gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati) baik secara langsung maupun melalui media, setiap paslon selalu menekankan pada pembangunan yang ramah ekologi. Kesimpulan sementara, bisa dibenarkan bahwa para calon pemimpin ini berani menolak tambang dan akan mengedepankan pembangunan humanis dan rama ekologi. Publikpun berharap tak ada lagi politisasi tambang.

Mengapa tambang harus ditolak? Chalid Muhamad dalam bukunya Pertambangan di Flores-Lembata Berkat atau Kutuk? Membeberkan beberapa pengertian pertambangan. Pertama, Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara menghancurkan gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung. Contoh nyatanya adalah pertambangan di Torong Besi. Bukit yang semula dijadikan lahan pertanian dan pusat kehidupan masyarakat berubah menjadi liang menganga yang tidak mungkin lagi ada kehidupan. Kematian, kesengsaraan terus menggerogoti kehidupan masyarakat Torong Besi.

Kedua, Pertambangan adalah kegiatan paling merusak alam dan kehidupan sosial yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungkan orang kaya. Pertambangan menjadi satu sisi yang darinya dapat kita saksikan jurang pemisah antara orang kaya dan yang miskin. Pertambangan tidak pernah merukunkan ataupun mempersatukan kedua golongan ini.
Contoh nyata dapat kita lihat pada perusahaan tambang Freeport di Papua yang secara ekonomis hanya menguntungkan orang kaya (Investor dan Pemerintah). Bayangkan saja PT. Freeport di Timika-Papua yang sejak tahun 1967 mengeksplorasi dan mengeksploitasi kandungan emas sejauh ini tidak menambah tingkat kesejahteraan rakyat Timika-Papua. Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masayarakat lokal disekitar wilayah pertambangan. Dan hingga saat ini korban nyawa para karyawan dan juga masyarakat terus mengalami kenaikan.

Selain itu, Pantai Nangaba Kabupaten Ende, yang sebelumnya sangat indah dan menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat, justru saat ini menyisahkan lubang dan mengancam putusnya jalan negara. Begitu pula dengan pertambangan bijih besi di Desa Latung Kecamatan Riung, yang saat ini menyisahkan keadaan yang sudah rusak dan bahkan terus mengancam mata air Soer dan Sudok yang menghidup hampir semua masyarakat wilayah Riung.

Politik Dusta
Walaupun tambang tak pernah disinggung oleh para paslon gubernur dan bupati, namun secara pribadi saya pesimis. Rasa pesimis ini terdorong oleh berbagai fakta suram masa lalu, yang seringkali janji itu diingkari ketika kursi empuk kekuasaan sudah raih.
Biasanya slogan tolak tambang hanya gaung sebelum pemilu. Ketika kursi kekuasaan sudah digenggam, saat yang sama pula dikedepankan slogan “siap bekerja sama dengan investor untuk terbitkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP)”. Drama politik dustapun dimainkan. Karena sejatinya slogan itu, adalah politik dusta yang melahirkan ayat-ayat indah untuk menarik rasa simpati dan empati masyarakat untuk sesaat. Rakyatpun diarahkan, diyakinkan, bahkan digiring untuk mempercayai ayat-ayat dusta tersebut.

Itulah sebabnya, acapkali kekuasaan gampang diraih dan digunakan sebagai instrumen untuk kekayaan diri, keluarga, golonganya, hingga pada pengkebirian hak-hak masyarakat kecil. Karenanya tidaklah heran, jika masyarakat seringkali mengartikan politik bukan sebagai seni tetapi sesuatu yang buruk dan penuh dengan dusta.

Fatalnya, label buruk terhadap politik dan juga fakta destruktif akibat pertambangan tidak pernah membuat para pemimpin insaf. Sebaliknya politik dustapun tetap dipertontonkan. Biasanya, secara sepihak tiba-tiba pemerintah sudah menerbitkan IUP. Berbagai cara dan idiologi yang sempit untuk meyakinkan publik terus dikampanyekan. Seperti menciptakan Slogan bahwa kehadiran tambang adalah untuk mendayagunakan potensi alam demi kesejehteraan masyarakat. Ini sudah semacam mitos yang mampu menghegemoni pikiran dan hati masyarakat dan sering digunakan oleh hampir setiap pemimpin.

Hegemoni

Saya teringat dengan pemikiran Antoni Gramsci seorang pemikir aliran Neo Marxis yang kerangka berpikirnya dikenal dengan teori hegemoni. Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial lain. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci,1976:244).
Hegemoni juga bisa melalui media massa, kotbah atau dakwah kaum religius, yang melakukan indoktrinasi sehingga menimbulkan kesadaran baru kaum yang didominasi. Akibatnya, daripada melakukan revolusi, mereka (yang didominasi) malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah bahkan kelas atas dan mampu meniru gaya hidup para penguasa.

Penegasan tolak tambang yang sering diucapkan oleh para calon pemimpin disetiap kampanye, diskusi dan bahkan media masa dan tesis bahwa tambang adalah usaha untuk mendayagunakan potensi alam demi kemaslahatan hidup masyarakat hanyalah sebuah proses indoktrinasi sesat pikir ala penguasa. Dampaknya, daya kritis kaum yang didominasi menjadi mandul dan terciptalah kelompok pro dan kontra tambang. Yang pro biasanya kelompok masyarakat yang sudah terjangkit virus hegemoni janji-janji manis sesaat ala penguasa lewat proses indoktrinasi yang berulang kali. Biasanya sangat taat dengan penguasa, karena sering diberikan “permen” dan menjadikan penguasa semakin kuat.

Gramsci membahasakan realitas ini sebagai sebuah problematika sosial yang sudah diseting sedemikian rupa oleh penguasa agar terjadi konsesus dengan kaum yang didominasi. Sehingga tanpa disadari, sebenarnya penguasa sedang menghegemoni kaum yang didominasi. Seringkali juga kecintaan masyarakat terhadap hidup yang harmonis, dijadikan sebagai intrumen oleh penguasa untuk menggolkan berbagai kepentingan sempitnya.

Fatalnya lagi, kelemahan ekonomi masyarakat juga dijadikan sebagai alat hegemoni untuk terus membunuh kekritisan masyarakat. Karenanya kelompok masyarakat yang mendapatkan keuntungan dari tambang akan merasa aman-aman saja. Ini yang oleh Gramsci, sebagai tipe masyarakat yang didominasi dan tidak mau melakukan revolusi, malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke kelas menengah bahkan kelas atas seperti para penguasa. Inilah bukti dari politik dusta yang diperagakan oleh penguasa agar kaum yang didominasi kehilangan idiologi serta jati dirinya sebagai manusia yang merdeka.

Karenanya, jika pemimpin terpilih mulai keluar dari visi-misi dan janji-janji politiknya, maka sebagai masyarakat yang mencintai demokrasi, secara kolektif harus segera merebut kursi kekuasaanya itu. Karena kursi itu milik rakyat. Dan mitos tentang tambang yang dapat menyejahterahkan masyarakat ala penguasa harus segera dibongkar dan dilawan. Sebab zaman demokrasi bukan dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas. Melainkan kebebasan yang mencintai kebenaran. Kebenaran dalam memimpin, membela hak rakyat, taat hukum, cinta kritikan, berani autokritik diri dan juga kebenaran dalam menerapkan pembangunan yang humanis.

Seyogianya semua orang mencintai kebenaran. Hanya saja ketika kekuasaan itu disalahgunakan, maka kebenaran itu hanyalah teori tanpa makna. Sebaliknya ketika manusia rakus akan uang dan kuasa, maka akan mudah dipengaruhi dan berpaling dari kebenaran itu sendiri.
Seharusnya, pemimpin sebagai terang penghalau kegelapan dan menjadi sumber kebenaran. Sebaliknya, rakyat adalah penjaga dan juga sumber kebenaran. Oleh karena itu, pemimpin tak perlu lagi memberi “permen” penikmat sesaat untuk masyarakat. Masyarakatpun tak perlu lagi mengemis dan menerima “permen” dari investor dan penguasa*

OPINI ini pernah tayang pada media Flores Pos (2/7/2018)

Posting Komentar

0 Komentar