Gambar;ajnn.net
Seringkali kita lebih suka mengampanyekan perang terhadap
korupsi yang sudah besar namun kita lupa bicara tentang perang terhadap korupsi
‘kelas teri’. Lalu ada fenomena lain yakni perang yang lucu: hukum lebih tajam
ke bawah namun tumpul ke atas.
Perang melawan korupsi yang semestinya mempertaruhkan kebenaran, martabat bangsa, dan juga hukum yang adil dan bermartabat, berubah menjadi ajang mempertaruhkan kekayaan, jabatan, dan status. Yang memiliki banyak uang dan jabatan, akan menang, sedangkan yang lemah dan miskin akan kalah.
Yang curi kakao akan diperangi dengan begitu cepat. Dalam sekejap mata, dijebloskan ke dalam jeruji besi. Kepada pejabat negara yang melakukan penyimpangan dan merugikan negara yang amat besar, cara perangnya begitu lamban. Kadang, saking lambannya, lalu lenyap tanpa arah. Entah ke mana. Kelucuan ini menjadi konsumsi publik. Tanpa menyebutkannya, semua orang tahu.
Mengapa?
Ya, masalah korupsi di Indonesia sudah semacam kebutuhan pokok bagi para
pejabat yang kian merajalela dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah yang
terpencil. Padahal kita semua tahu bahwa perilaku korup adalah salah satu
penyebab buramnya potret wajah bangsa kita dari dulu hingga kini.
Ironisnya, perilaku koruptif seringkali dipertontonkan oleh para pejabat bangsa
kita. Kekuasaan acapkali digunakan untuk ‘melegitimasinya’. Kasus Hambalang,
kasus pajak, kasus 100 Kepala Daerah terjerat korupsi, OTT yang rentan terjadi
pada setiap Kepala Daerah, hingga e-KTP, seakan-akan mau melegitimasi bahwa
korupsi adalah hal yang biasa yang terus dipraktikkan oleh para pejabat bangsa
kita.
Fakta buram ini juga, mau menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi
masalah laten karena telah dipraktikkan secara luas dan sistematik dan
berkelanjutan. Karena itu korupsi telah merugikan bahkan mematikan sendi-sendi
kehidupan berbangasa dan bernegara. Mulai dari merendahnya martabat manusia dan
bangsa, kerugian keuangan negara, perekonomian, hingga roda pembangunan
nasional.
Untuk merespons realitas destruktif itu sekaligus sebagai salah satu langkah
awal yang dibuat oleh bangsa Indonesia untuk menanggulangi prilaku koruptif,
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 silam. Kehadiran
KPK memberi harapan besar. Eksekutif, legislatif hingga yudikatif pernah
merasakan panasnya ‘baju khas’ KPK itu. Meskipun demikian, KPK tidak mampu
bekerja sendirian karena fokus mereka pada puncak ‘Gunung Es’, sehingga korupsi
recehan atau kelas teri (seolah) belum bisa tersentuh.
Meski usaha pemberantasan korupsi adalah pekerjaan yang maha berat, tetapi bila
upaya preventifnya kita temukan maka bibit-bibit korupsi akan ditanggulangi
dengan baik dan berkelanjutan. Apa usaha preventifnya?
Penulis menawarkan dua hal.
Ibarat sebuah bangunan, yang harus dibuat pertama kali adalah fondasi. Fondasi yang kokoh akan membuat bangunan rumah menjadi kuat dan tidak mudah roboh jika badai datang menerjangnya. Proses penanaman ideologi terhadap anak terjadi pertama kalinya adalah dalam lingkungan keluarga. Karena itu dapat kita yakini bahwa keluarga dapat menjadi alat yang paling efektif dan sangat fundamental dalam menumbuhkembangkan budaya antikorupsi.
Peran orang tua menjadi sangat sentral. Penanaman nilai-nilai, termasuk di
dalamnya nilai kejujuran dan perilaku antikorupsi diteladani anak dari perilaku
orang tuanya. Karenanya, ketika anak membuat kesalahan, orang tua langsung
mengambil sikap. Jangan membiarkannya hingga larut dalam waktu yang lama.
Sebaliknya, kebiasaan orang tua tertentu yang selalu berharap pada guru atau
melapor pada guru ketika anak melakukan penyimpangan di rumah, segera
dihentikan. Sebab, di rumah harus dan tetap menjadi medan atau wadah mendidik
oleh orang tua; bukan melempar tanggung jawab kepada guru.
Seperti cerita yang dituturkan oleh Ketua KPK non aktif, Abraham Samad, yang
‘mencuri’ kapur tulis berjumlah lima batang, tapi ketika ibunya tahu, kapur
yang ‘hanya’ lima batang itu harus dikembalikan karena untuk membelinya memakai
uang Negara. Mencuri lima batang kapur tulis itu adalah hal yang sangat sepele.
Tapi hal-hal sepele itulah yang akan terus membekas dalam hati, dan akan
membentuk karakter anak bangsa yang luar biasa.
Hal yang lainnya adalah pola asuh antikorupsi dalam keluarga juga harus
diimbangi dengan penerapan sikap dan pola hidup sederhana. Pola hidup sederhana
ini dapat membentuk kepribadian anak yang kuat, sehingga dapat dijadikan
benteng bila diserang dengan rayuan uang ataupun rayuan lainnya yang
menjerumuskan anak ke dalam perilaku korupsi.
Karena itu, untuk mendidik anak menjadi pribadi antikorupsi sejak dini, keteladanan, kejujuran, tanggungjawab, dan kerja keras dari para orang tua adalah keharusan.
Kedua, sekolah merupakan rumah kedua bagi
anak-anak. Selama 7 sampai 11 jam sehari mereka berada di lingkungan sekolah.
Sekolah sebagai rumah juga semakin dipertegas oleh gagasan Mendikbud Muhadjir
Effendy. Bahwasanya Presiden Joko Widodo telah berpesan bahwa kondisi ideal
pendidikan di Indonesia adalah ketika dua aspek pendidikan bagi siswa
terpenuhi: pendidikan karakter dan pengetahuan umum.
Oleh karenanya, Muhadjir Effendy
mengusulkan penerapan full day school di Indonesia. Full day school atau
sekolah sehari penuh di usulkan penerapannya oleh Mendikbud untuk seluruh
sekolah yang ada di Indonesia, mulai dari tingkat SD, SMP hingga SMA. Tujuan
dari program full day school ini adalah untuk membentuk karakter dan
kepribadian anak. Juga mengurangi risiko pergaulan bebas seperti, memakai
narkoba, perilaku koruptif, dan tindak kriminal lainnya.
Karena itu, selain rumah, sekolah juga harus mampu menjadi tempat berseminya
nilai-nilai dan budaya antikorupsi. Hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan
karakter melalui pembentukan soft skills para peserta didik.
Menurut Robert K. Cooper, ada beberapa kecerdasan dalam diri manusia, yakni
aspek rasio atau kecerdasan akal budi (IQ), aspek ‘hati’ atau kecerdasan emosi
(EQ), dan aspek ‘ilahi’ atau kecerdasan spiritual (SQ). Apa yang mereka
tinggalkan dan acapkali dilupakan adalah aspek ‘hati’ atau kecerdasan emosi
(EQ) dan aspek ‘ilahi’ kecerdasan spiritual (SQ). Padahal, budaya pembentukan
karakter anak yang antikorupsi harus terus dipraktikkan di lingkungan sekolah
dengan menyentuh aspek hati, spiritual dan intelektual.
Untuk bisa mempraktikkannya secara benar maka, keteladanan para guru baik di
sekolah maupun di luar sekolah adalah hal yang paling diutamakan. Keteladanan
(sikap) dari para guru justru jauh lebih menyentuh ketimbang kata-kata berupa
nasihat atau KBM di kelas. Guru harus tetap menjadi cermin hidup dalam segala
aspek bagi anak murid dalam menata dan membentuk kepribadian mereka.
Para guru harus menjauhi perilaku koruptif dalam bentuk apa pun karena
pendidikan erat kaitannya dengan kebenaran dan keteladanan hidup. Mengapa?
Karena guru yang belajar dan mengetahui yang benar akan mempraktikkan hal yang
benar pula di hadapan anak-anak, dan sebaliknya guru yang belajar hal-hal yang
salah akan mempraktikkan atau mengajarkan hal yang salah pula kepada anak-anak.
Selain itu, hindari juga praktek keliru yang menjadikan lembaga pendidikan
hanya berfokus pada peningkatan kecerdasan otak dan mengabaikan kecerdasan yang
lain. Sebaliknya, hindari juga memaknai pendidikan ‘hanya’ sebagai medan atau
tempat untuk sekadar mendapatkan ijazah yang minus praksis dan melupakan
pembentukan pribadi-pribadi berkarakter.
Untuk mewujudkan harapan membudayakan pendidikan
antikorupsi, maka orang tua dan guru harus menanamkan dalam diri anak nilai
kejujuran, tanggungjawab, dan takut akan Tuhan lewat keteladanan hidup, di
rumah dan di sekolah. Jangan biarkan virus perilaku koruptif menyerang
sendi-sendi kehidupan para generasi penerus kita menjadi besar seperti gunung
es.
Kerja sama antara orang tua dan sekolah mesti juga menjadi dasar pijak yang
kuat dan terus dirawat, sebab pendidikan karakter serta ikhtiar untuk
mewujudkanya hanya bisa tercapai apabila, menumbuhkembangkannya hingga menjadi
budaya yang mendarah daging. Jika sikap-sikap humanis ini dihidup oleh orang
tua, sekolah dan lingkungan sosial, maka niscaya, perilaku-perilaku menyimpang
yang merongrong hidup akan diberantas sejak dini
Saya menutup tulisan sederhana ini dengan sebuah cerita. Suatu ketika, seorang
pemburu yang perkasa pergi ke hutan. Di sana ia bertemu kurcaci yang masih
kecil. Kurcaci itu menantang si pemburu berkelahi. Mendengar tawaran kurcaci
ini, pemburu mengatakan: “Kurcaci, kau masih terlalu kecil dan lemah untuk
melawan saya. Sebaiknya kau pulang, dan tunggu kau besar dulu baru melawan
saya”.
Lima tahun kemudian, si pemburu kembali lagi ke hutan yang sama dan bertemu
lagi dengan kurcaci yang sama pula. Namun kali ini kurcaci itu sudah besar dan
kekar. Seperti Sang Pemburu. Dan ketika kurcaci menantangnya lagi, si pemburu
menarik napas dalam-dalam sembari bertanya dalam hatinya: mampukah saya
mengalahkan kurcaci yang sudah besar ini?
Si pemburu melayani permintaan kurcaci itu. Pertempuran sengit terjadi. Si
Pemburu akhirnya mampu mengalahkan Kurcaci dengan pengorbanan yang tidak
sedikit. Kedua kakinya patah, kepalanya terluka, juga sekujur tubuhnya. Dia
harus menjalani sisa hidupnya dengan derita lumpuh.
Tulisan ini pernah ditayangkan pada
blog Ranalino.id (14/01/2019) dengan judul; Dua Tawaran Menyiapkan Generasi
Antikorupsi
0 Komentar