“Bumi dilukiskan seperti selembar kertas putih yang kosong. Seperti apa keadaan kertas itu nantinya, tergantung pada siapa yang melukisnya” Kaludia A. Deda
Fakta buram tentang alam semakin meningkat. Rentetan bencana alam yang melanda bumi kita dewasa ini seperti cuaca yang tak menentu lagi merupakan rentetan keburaman wajah alam yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Manusia telah sekian banyak menyumbangkan aneka perilaku non-etis terhadap alam. Aneka tindakan destruktif itu pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pandangan manusia yang keliru dan diskriminatif tentang bumi. Pemaknaan teknologi yang “sempit” telah merasuki akal manusia sehingga manusia berubah menjadi mesin angker bagi alam. Eksploitasi kandungan bumi dilakukan dengan sesuka hati manusia dengan tanpa mempertimbangkan nilai etis moral-ekologi. Dan akibatnya cara pandang manusia selalu menempatkan alam pada posisi yang tidak menguntungkan. Alam hanya dijadikan obyek yang harus dihancurkan demi kepentingan yang sempit manusia.
Akibat lanjutanya adalah kian hari suhu bumi semakin meningkat, dan menyebabkan mencairnya gunung es di kutub serta menipisnya lapisan ozon. Jika gunung es mencair, sementara penguapan terjadi terus-menerus, maka potensi tenggelamnya beberapa pulau dan kota-kota besar di dunia akan semakin besar. Bahkan sebuah penelitian mengatakan bahwa, dalam beberapa dekade ke depan, kota London dan Amsterdam akan tenggelam.
Solusi Yang Humanis Melalui Protokol Kyoto
Untuk mencegah masalah ini, pada Desember 1997 PBB membuat sebuah konferensi perubahan iklim. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) dan dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5, 2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
Seturut dengan perputaran waktu, Protokol Kyoto tetap menjumpai tantangan serius dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.
Ada dua negara yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut yaitu Amerika Serikat dan Kazakstan. Senat Amerika Serikat menolak meratifikasi Protokol Kyoto, terutama dalam klausul mengenai tingkat emisi yang diperbolehkan untuk negara-negara berkembang seperti China dan mengemukakan berbagai alasan seperti kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan bahwa ketentuan dalam protokol dianggap terlalu mengikat. Akibatnya banyak negara yang terpengaruh dan menolak meratifikasi karena terpengaruh dengan Amerika Serikat.
Bersandar pada sejarah perjuangan dan persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengantisipasi pemanasan global lewat Protokol Kyoto maka, hemat penulis bahwa Protokol Kyoto masih sangat penting untuk dipertahankan. Dan yang paling penting adalah haruslah terlahir suatu usaha dari dalam diri setiap pribadi bahwa bumi harus dijaga oleh manusia tanpa terkecuali. Protokol Kyoto adalah api pemantik semangat bagi setiap manusia untuk merawat bumi seperti dirinya sendiri. Selalu membiasakan diri dan merupakan suatu kebutuhan bagi manusia untuk selalu menanam pohon, sosialisasi lingkungan hidup, pemanfaatan dan pengelolahan sampah. Beberapa hal ini, hemat penulis dapat mendukung Protokol Kyoto dan merupakan bentuk tanggung jawab eksistensi manusia di atas bumi sebagai pijakan hidup manusia. Tanpa alam yang asrih dan indah maka, eksistensi manusia pun dapat digugat.
Dalam semangat kebersamaan juga kita perlu membangun ekologi mental (mental ecology) yaitu kesatuan dan jaringan abstrak mental yang membangun lingkungan psikis manusia dengan bumi, alam dan beserta isinnya. Karena ekologi mental sangat bersentuhan dengan Prinsip dasar etika ekologi yakni penjagaan dan pemeliharaan segala ciptaan, terutama makhluk yang lemah dan tak berdaya. Segala aksi yang melukai dan menghancurkannya adalah keburukan.
Etika ekologi menyiratkan tanggung jawab terhadap segala yang ada dan hidup dalam bingkai koeksistensi (ada bersama). Kosmos dan moral merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bagaikan Yin dan Yang dalam filosofi China. Marilah dalam semangat solidaritas kita membangun semangat ekologi mental untuk menjaga dan menciptaka ekologi yang indah dan humanis.
Tulisan ini pernah terbit pada Majalah Sekolah Suara Ratu Damai
Oleh Klaudia Anastasia Deda-Mahasiswi Universitas Indonesia-Alumnus SMAS Katolik Regina Pacis Bajawa
0 Komentar