sumber gambar; today.line.me
Mumpung
saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang lahir pada tahun 80-an,
maka di awal goresan ini, izinkan saya untuk sedikit berkisah. Kisah ini nyata
senyata-nyatanya. Sebab saya tak sebatas melihat namun merasakannya juga.
Dulu nenek moyang kita identik dengan jalan kaki
dan tidak punya handphone (HP), Dulu, nenek moyang kita identik dengan semangat
gotong royong, simpati, empati dan mudah peka dengan keadaan disekitarnya.
Itu dulu.
Hidup saat ini gayanya sudah jauh berbeda bro. Sekarang banyak
manusia yang doyan bersikap individualistik, acuh, serba online dan
bahkan tidak mau tahu dengan situasi sekitarnya. Alhasil, sikap membiarkan,
mempertonton, dan menertawakan sesama yang lagi dalam kesusahan menjadi hal
yang biasa. Bahkan menghilangkan nyawa sesama sekalipun adalah hal yang amat
biasa.
Memang
benar adanya. Sebagai makhluk yang dinamis, manusia selalu bergerak maju dan
ingin berubah. Oleh karena itu, jika kehidupan kini identik dengan penggunaan
HP dan serba online, tak perlulah kita heran dan geleng-geleng
kepala sampai mengong.
Namun
yang perlu kita geleng-gelengkan kepala sampai mengong adalah mengapa warganet
kini begitu gampang untuk saling membunuh baik secara langsung maupun tak
langsung?. Pertanyaan yang menggugat inilah yang akan diulas khusus dalam
goresan sederhana ini. Satu bukti akurat yang mau melegitemasi bahwa sebagian
warganet kini banyak yang sudah mati sebelum saatnya, coba saya kedepankan.
Pada
(12/08/2020) terjadi kecelakaan maut di km 9, jalan jurusan Kefa-Kupang, Desa
Naiola, Kecamatan Bikomi Selatan, Kabupaten TTU-NTT. Kasus kecelakaan ini
menyebabakan korban Degonsa Kolo terbakar api bersama motornya hingga tewas.
Orang-orang yang meyaksikan kejadian ini, bukanya mencari cara untuk membantu,
malah sebaliknya justru membuat video kecelakaan maut itu. Dalam sekejab video
kebakaran saudara kita Degonsa ini pun menyebar luas melalui group media sosial
seperti whatsapp, messenger, dan facebook.
Kita amat
menyadari bahwa dalam hidup ini, persoalan hidup adalah kepastian yang akan
selalu menimpa siapa saja. Namun terlepas dari itu semua, yang patut disesalkan
adalah matinya rasa kemanusiaan sebagian warganet terhadap sesama yang sedang
dalam kesulitan. Dan bagi warganet yang sudah “mati” itu, merekam, memvideokan
kecelakaan, kebakaran dan sejenisnya lalu membagikan serta memviralkan ke
publik adalah kebiasaan yang mesti budayakan.
Hemat
saya, realitas perilaku buruk ini adalah fenomena yang menarik untuk dicermati
hari-hari ini. Ada semacam perubahan perilaku yang disebabkan oleh terkikisnya
rasa solidaritas dan rasa kamanusiaan. Mungkin karena beda zaman dan
perkembangan teknologi, seperti telah membius manusia habis-habisnya untuk
beralih dari perilaku yang dinilai sudah kuno ke perilaku yang dinilai kekinian.
Sehingga tak ada lagi rasa kamanusiaan.
Di zaman
dulu, rasa kemanusiaan berangkat dari dalam hati (nurani), tetapi perilaku
manusia masa kini lahir dari jari. Dengan kecepatan jari untuk memanfaat
teknologi sehingga mereka tidak bisa memilah mana yang baik dan mana yang tidak
dan mana yang diutamakan dan mana yang dikemudiankan. Percepatan
teknologi yang tidak dibarengi dengan literasi yang berkualitas, telah
melahirkan generasi labil, dimana tatanan dan nilai hidup belum
terpatri, tetapi yang baru sudah datang lalu menerimanya dengan tanpa
menyaring terlebih dahulu.
Selain
itu orang sudah tidak mau repot, menyita waktu sedikit saja untuk membantu.
Tidak mau urusan dengan pihak berwajib kalau diminta kesaksian, dan ini hanya
buang-buang waktu. Sebagai jurnalis, saya dibekali selain skills, pengetahuan
tetapi juga aspek moral dan etika. Jika ada yang harus ditolong ketika sedang
jalankan tugas, maka harus diutamakan menolong baru melakukan kegiatan
reportase.
Dampaknya,
setiap individu akan berlomba-lomba untuk menjadi orang pertama yang
mengetahui dan merekam peristiwa. Dan menjadi orang pertama yang
mempublikasikan (viralkan) ke media sehingga menimbulkan perhatian masyarakat
hanya untuk melayani kepuasan personal sesaat dalam kehampaan nilai kemanusiaan.
Orang-orang semacam ini akan berusaha berlomba-lomba paling duluan merekam
peristiwa dan bukan menolong, supaya dianggap paling berjasa karena bisa
merekam peristiwa tersebut.
Dan pada akhirnya melebihi dari sekadar ingin viral, orientasi akhir dari warganet yang berani menjual ketakberdayaan bahkan kematian sesama manusia itu adalah membuat konten youtube yang bisa mendatangkan pundi-pundi rezeki yang banyak. Inilah yang dinamakan cara sesat cepat kaya.
Bagaimanakah cara
membangkitkan warganet yang masuk kategori sudah mati sebelum saatnya itu? 3 pertanyaan berikut adalah solusinya.
Pertama, jika
persoalan adalah bagian dari hidup semua umat manusia, perlukah kita menjadi
biang persoalan bagi sesama?
Kedua, jika
kematian adalah bagian dari hidup semua umat manusia, perlukah kita
mempertontonkan sikap-sikap destruktif yang justru mempercepat mengarahkan
sesama kita menuju pintu kematian?
Ketiga, jika
nenek moyang kita dulu hidup dalam situasi keterbatasan banyak aspek namun
mampu mempertontonkan sikap-sikap alami nan humanis, mengapa kita kini yang
hidup dalam situasi yang serba mapan justru gampang dikuasi oleh teknologi dan
bahkan menyembah teknolgi ketimbang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
universal?
2 Komentar
👍🙏
BalasHapusNama : fransiska moi
BalasHapusKelas: x ips 6
Menurut saya itu bagus sekali karena dapat memotivasi lara peserta didik