Siswa SMAS Katolik Regina Pacis Bajawa
Pancasila adalah “rumah bangsa”. Ia menjadi dasar pemersatu Bangsa Indonesia. Dengan Pancasila, berbagai keanekaragaman disatukan dalam harmoni. Sebagai “rumah bangsa”, ia menyatukan pelbagai suku, agama, budaya dan kebiasaan yang berbeda dalam persatuan dan kerukunan. Pancasila menjadi kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang suku, etnis, budaya, dan agama. Dalam Pancasila, perbedaan dan keanekaragaman mendapatkan tempatnya. Di usia bangsa kita ke-74 tahun ini, Pancasila tetap berdiri kokoh di tengah guncangan dan tantangan bangsa.
Pertanyaanya, mengapa Pancasila
tetap awet, kokoh dan selalu dirawat oleh semua masyarakat Indonesia hingga
kini? Kerena Pancasila bukan hanya suatu ide yang baik, namun menjadi dasar
hidup bangsa ini. Pancasila lahir dari permenungan yang dalam dan refleksi yang
panjang. Dalam situasi sulit di masa pengasinganya, Bung Karno tidak pernah
mengenal kata putus asa. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan yang teguh pada
kekuatan rakyat dan Sang Kuasa, ia duduk berefleksi dan bermenung.
Dalam permenunganya itu, Bung
Karno menemukan butir-butir Pancasila. Kota Ende-Flores-NTT dan pohon sukun
yang saat ini tetap bertumbuh subur telah menjadi sakasi sejarah bisu yang
tetap hidup. Di tempat inilah Bung Karno yang memiliki kecerdasan dan imajinasi
yang hebat, berusaha mencetuskan dan merumuskan Pancasila. Berkat ketekunan dan
kecerdasannya, Pancasila pun lahir sebagai dasar dan arah hidup berbangsa.
Realitas
Ketercemaran Pancasila
Walau bangsa kita sudah merdeka
selama 74 tahun, namun kita juga tak bisa menutup mata kita akan banyaknya
sikap sebagian besar bangsa Indonesia yang mencemari nilai luhur Pancasila itu
sendiri.
Salah satu faktor yang
melatarbelakangi sikap-sikap destruktif itu adalah pemaknaan sacara salah
terhadap perubahan zaman. Perubahan dalam berbagai bidang kehidupan tidak lagi
dimaknai untuk menghumaniskan nilai-nilai manusiawi seturut semangat Pancasila.
Yang terjadi justru sebaliknya. Perubahan dan perkembangan zaman justru
melunturkan nilai-nilai kebangsaan. Akhirnya, Pancasila menjadi “rumah bangsa”
yang sedang dicemari. Beberapa contoh bisa dikedepankan.
Pertama, oleh
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), ada banyak tekhnologi
canggih yang lahir. Salah satunya ialah informasi, dengan contoh konkretnya
ialah media sosial. Alhasil, kaum milenial lebih memilih gadget dibandingkan
berdoa, lebih memilih main game online
dibandingkan bersolidaritas dan membuat hal-hal edukatif lainnya.
Di masa ini telah terjadi
banyak penyalahgunaan penggunaan media sosial. Saat ini, media sosial justru
digunakan untuk menyebar kebencian atas nama suku, ras dan agama. Akhirnya,
kerukunan hidup berbangsa yang selaras Pancasila jadi hanya sekadar teori. Yang
dipamerkan adalah keserakahan dan ego yang bermuara pada politisasi agama atau
ras dengan akibat yang amat destruktif.
Kedua, dari
media cetak maupun elektronik, kita hampir tak pernah absen untuk memberitakan
seputar kasus dan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh kaum muda. Contoh
perilaku menyimpang tersebut ialah kasus aborsi, pergaulan bebas, kumpul kebo,
dan kasus-kasus kriminalitas, kasus-kasus moral dan kasus-kasus kekerasan
lainnya.
Di NTT sendiri, kasus-kasus
kriminal seputar aborsi seakan telah menjadi makanan lezat setiap hari yang
terus dihidangkan oleh media. Contohnya ialah kasus buang bayi oleh mahasiswi
Unika St. Paulus Ruteng (https://www.floresa.co, 25/10/2019). Ada juga kasus
aborsi yang dilakukan pasangan mahasiswa di Kupang (Tribunnews.com,
14/03/2019). Atau banyak kasus lainnya yang mudah ditemukan di media.
Berbagai realitas sosial ini
seakan mau melegitemasi prasangka bahwa kaum muda yang adalah milenial ini
begitu larut dalam kemajuan teknologi namun mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan
yang selaras dengan Pancasila, sehingga nilai-nilai pancasila pun tampak
semakin memudar.
Ketiga,
masalah lain yang sudah akut adalah mentalitas kaum muda saat ini yang
mengenyam pendidikan, yang hanya berorientasi untuk jadi PNS. Tidak heran jika
angka pengangguran berijazah setiap tahunya terus meningkat. Sebagaimana
dikutip dari media cetak Pos Kupang, 5 November 2019 bahwa Tinggkat
Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi yaitu Kota Kupang 9, 78% diikuti Belu 7,
9% dan Kabupaten Kupang 4, 48 %. Pengangguran tersebut membawa masalah sosial
yang beranekaragam, mulai dari kekerasan, kriminalitas, atau soal etika
antarwarga, yang menciderai nilai-nilai Pancasila.
Berbagai relitas penyimpangan di atas dan juga angka pengangguran yang cukup tinggi itu mau melegitemasi hipotesis kita bahwa ketercemaran nilai-nilai Pancasila terus terjadi di NTT. Untuk itu, atas realitas ini, maka bisa saya simpulkan bahwa penghayatan nilai-nilai Pancasila dan peringatan hari kelahiran Pancasila setiap tahun itu, hanya sebatas tataran teori dan juga seremonial tahunan tanpa makna. Bahkan terlihat sangat ompong. Akhirnya, tidaklah heran jika bagi kaum milenilal, pengimplementasian nilai pancasila menjadi hanya sebatas wacana belaka minim perbuatan praksis.
Mengembalikan Pancasila Sebagai “Rumah Bangsa” Otentik
Rumah pada hakikatnya selalu
diasosiasikan pada tiga hal penting yakni kerinduan, kesetiaan, dan
penyembuhan.
Pertama,
kerinduan. Kerinduan selalu mengandaikan adanya pengalaman yang mengesankan dan
sulit untuk dilupakan. Semua pengalaman indah dan mengesankan itu biasanya akan
dan selau tersimpan dalam rumah. Rumah selalu menyimpan hal yang orisinil,
tanpa kepalsuan, yang membuat kita rindu dan betah, yang membuat kita rindu
untuk pulang. Pancasila adalah “rumah bangsa” yang berisi nilai-nilai luhur
yang menyentuh hati kita, yang membuat kita merindu untuk pulang tinggal
kembali dalamnya. Jika segenap nilai itu telah tercemar, kita mesti kembali
pulang kepada nilai-nilai yang jadi rumah bangsa Indonesia, yang membuat
orang-orangnya aman, tentram dan betah hidup di dalamnya.
Kedua,
kesetiaan. Rumah selalu mengajarkan kita untuk setia. Sejauh apapun kita pergi
dan seburuk apapun sikap kita yang telah mencemarkan nilai-nilai Pancasila,
janganlah membuat kita untuk membenci rumah dan lupa jalan pulang. Sebab
Pancasila yang adalah rumah kita itu selalu mengajarkan kata maaf. Untuk itu
kesetiaan haruslah membawa kita pada cara pandang yang merdeka dan memiliki
komitmen moral untuk terus berubah hingga keabadian. Karena itu, jika ada yang
berusaha mencemari nilai-nilai Pancasila dengan nilai-nilai lain yang tidak
sesuai dengan semangat kebangsaan, maka kita mesti setia kembali kepada
Pancasila, sekaligus berusaha membelanya.
Ketiga,
penyembuhan. Rumah selalu membawa kita pada keteduhan yang berujung pada
penyembuhan jiwa maupun raga. Pancasila sebagai rumah selalu mengarahkan kita
pada pengamalan nilai-nilai Pancasila, yang pada akhirnya mampu menyembuhkan
segala tingkah laku dan cara pikir kita yang cendrung melukai pancasila itu
sendiri.
Dan untuk penyembuhan ini
haruslah dijadikan kerinduan kolektif tanpa pengecualian. Hal ini menjadi urgen
untuk selalu mengingatkan setiap warga negara terhadap para Founding Fathers Republik ini. Untuk
itu, sudah selayaknya kita mesti banyak berikhtiar dan terus belajar dari Bung
Karno, di mana dalam pengasingan dan situasi yang sulit saja, Ia dapat
menemukan butir-butir nilai Pancasila. Dengan ini tampak bahwa dalam situasi
sesulit apa pun selalu ada hikmah yang bisa
kita timba.
Oleh kisah Bung Karno yang
mampu merumuskan dasar negara kita dalam pengasingan, kita bisa belajar
menjadi warga negara yang tahan banting,
menghindari sikap cengeng, dendam, pasrah, adu domba, apalagi sikap-sikap yang
mau menghancurkan nilai-nilai Pancasila demi kepentingan sempit.
Sikap-sikap itu tidak boleh
dibiarkan, melainkan mesti dijauhkan. Dengan demikian, masyarakat umumnya dan
kaum milenial khususnya tidak lagi menjadi agen yang mencemarkan Pancasila,
tapi sebaliknya menjadi agen penyelamat nilai-nilai Pancasila sebagai “rumah
bangsa” itu dari ketercemaran itu sendiri.
Dan salah satu ikhtiar penyelamat nilai-nilai Pancasila yang sudah dilakukan oleh SMAS Katolik Regina Pacis Bajawa adalah membudayakan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Sebab dengan kegiatan ekstra sebenarnya sedang terjadi ikhtiar pemblokiran terhadap berbagai perilaku menyimpang. Sehingga, rutinitas peserta didik dari pagi hingga malam selalu terisi dengan kegiatan-kegiatan edukatif.
***
Catatan; Artikel ini ada sedikit penambahan pada bagian tertentu. Masuk 10 naskah Favorit dalam Sayembara Lomba Menulis Buku Pancasila Dalam Perspektif Kaum Milenial dan Narasi Gubernur Yang Menginspirasi; Yang diselenggarakan Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTT-2019. Dan terbit pada Majalah Sekolah Edisi-4*
0 Komentar