Bersatu Kita Runtuh, Bercerai Kita Kuat Vs Bersatu Kita Kuat, Bercerai Kita Runtuh

Siswa SMAS Katolik Regina Pacis Bajawa-Flores-NTT


Pandemi Covid-19 telah hadir sebagai monster yang sungguh menakutkan. Pantas takut, oleh karena banyaknya nyawa yang terus berjatuhan. Mungkin, ini menjadi realitas terburuk dalam sejarah hidup manusia.

Terhadap fakta ini, saya coba memaknainnya dari dua persepektif. Pertama, bersatu kita runtuh-bercerai kita kuat. Menghadapi situasi yang amat berat ini, sikap untuk saling menyalahkan, saling mengkritisi atau merasa diri paling super sebaiknya dihentikan? Ya, karena tak akan berdampak humanis bagi hidup manusia itu sendiri. Sebaliknya, yang terjadi yakni semakin menambah ketakutan, rasa sakit hingga kematian. Hal ini terjadi karena masyarakat jarang menaati protokol kesehatan dan kebijakan lain yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.

Realitas ini semakin parah ketika pemerintah tidak menunjukan sikap serius dalam penanganan beragam perilaku yang melawan aturan itu sendiri. Tak heran masyarakat semakin menunjukan sikap-sikap yang buruk terhadap protokol kesehatan. Dan realitas inilah yang saya katakan dalam istilah bahwa masyarakat masih bersatu dalam tataran fisik; pesta pora dan tidak taat protokol kesehatan. Sikap untuk bercerai, dalam hal ini menjaga jarak dan protokol kesehatan lainya, seakan hanya indah pada tataran teori namun ompong dalam praksis.

Kedua, Bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh. Kita semua sangat mengerti bahwa pandemi covid-19 telah menjadi monster yang sungguh mematikan. Banyak nyawa manusia telah lenyap. Ada yang sedang mengarah kepada kematian. Semisal, para pedagang kecil, gojek, kuli bangunan, dan bahkan pegawai swasta yang sedang terancam oleh kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sedang marak terjadi akhir-akhir ini.

Berhadapan dengan realitas buruk ini, di lain pihak, ada para pejabat publik tertentu malah sibuk bikin kegaduhan yang tak seharusnya terjadi. Walaupun demikian, negara tetap memberikan gaji. Bahkan lancar dan jaya. Sebaliknya, rakyat kecil bikin kegaduhan karena perut sedang keroncongan, tak ada lagi harapan untuk hidup, dan mengarah pada kematian. Miris, bukan!

Saya sebagai penulis yang notabene sebagai generasi penerus bangsa patut bertanya dan menduga-duga, kira-kira ada apa di balik kegaduhan para pejabat publik ini? Izinkan saya untuk mencoba menjawab sekaligus menjelaskan dari dua perspektif kepentingan yakni kepentingan humanis dan kepenting politik destruktif..

Bicara tentang kepentingan sangat erat kaitanya dengan orientasi akhir. Kepentingan akan dirasakan humanis, jikalau orientasi akhirnya bermuara pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan universal. Sebaliknya, kepentingan akan dirasakan pahit bahkan mematikan, jikalau orientasi akhirnya adalah kepentingan politis individu, kelompok tertentu dan bahkan kepentingan ‘sempit’ lainya. 

Untuk memahami secara mendalam juga menemukan jawaban yang tepat terkait dua kepentingan di atas, baik jika saya dan Anda sekalian terlebih dahulu mendalami berbagai realitas kebijakan para pejabat publik kita yang paling kekinian.

Setidaknya pada hemat saya ada tiga realitas buruk yang pernah terjadi. Pertama, perbedaan pendapat antar Menkumham Yasonna Laoly dan pihak Kantor Staf Presiden (KSP) terkait rencana pembembasan napi korupsi. Kedua, perbedaan pendapat antar juru bicara presiden Fadjroel Rachman dan Mensesneg Paratikno terkait mudik lebaran. Ketiga, juru bicara presiden Fadjroel Rachman meralat kembali pernyataanya soal relaksasi kredit yang hanya diutamakan untuk masyarakat terdampak virus corona (kompas.com, 5/04/2020).

Dari tiga realitas buruk di atas, saya tidak mempersoalkan arah kebijakannya. Tapi yang patut dipersoalkan adalah kegaduhanya. Bahwasanya, jikalau kebijakan itu berorientasi pada pencegahan penularan covid-19 dan penyelamatan nyawa manusia, mengapa mesti ada kegaduhan? Hmmmmmm, Sapa mo help ooooo.

Kesimpulan yang bisa dikedepankan adalah para pejabat yang adalah orang-orang dekat presiden itu sedang haus kekuasaan. Di mana covid-19, dijadikan sebagai instrumen untuk unjuk gigi siapa yang lebih hebat berbicara, hingga kepada siapa yang lebih layak untuk mengambil keputusan.

Padahal mereka (juru bicara dan staf) presiden adalah orang-orang terpilih secara khusus. Sebab mereka dinilai memiliki skil, kemampuan, dan kepribadian yang unggul agar dapat membantu presiden untuk memberikan jalan dan solusi-solusi yang humanis dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan itu sendiri. Namun sayang seribu sayang yang terjadi justru sebaliknya yakni semakin jauh panggang dari api.

Hal ini amat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia. Mengapa? Ya, sebab perilaku-perilaku ini justru dipertontonkan saat keganasan pandemi covid-19 terus merenggut nyawa manusia. Di saat masyarakat berharap penuh pada nahkoda (pemerintah dan pejabat publik terkait lainnya) untuk menuntun ke jalan yang benar dan nyaman, justru saat yang sama para nahkoda bangsa ini membuat kegaduan besar-besaran. Bisa jadi kegaduhan ini akan menimbulkan semakin banyak efek buruk  yang mematikan masyarakat luas secara masif.

Pada titik ini saya sebagai masyarakat kecil dan generasi penerus, lantas kecewa sekaligus menggugat. Sangat disayangkan, jikalau waktu-waktu emas yang seharusnya digunakan untuk menyatukan pendapat dan kerja-kerja humanis untuk menyelamatkan nyawa manusia dibuang begitu saja. Yang terjadi hanyalah penggunaan waktu untuk kepentingan politis dan cari panggung tidak pada tempatnya.

Pada akhirnya juga, sebagian waktu terbuang begitu saja hanya untuk beradu kehebatan siapa yang lebih pintar, pengaruh dan layak untuk mengambil kebijakan. Sebab, para jubir dan staf presiden, semuanya berlagak dan berlomba-lomba mau jadi presiden. Lucu, konyol, dan bahkan memalukan. Nah,inilah realitas yang masuk kategori; Bersatu kita kuat-bercerai kita runtuh. Dan keruntuhan itu sedang ditunjukan oleh para pejabat negara kita.

Harapan

Pandemi covid-19 belum juga redah. Bahkan semakin menjadi-jadi mulai dari ibu kota hingga ke kota-kota kecil. Untuk itu, saya dan masyarakat kecil lainya, berharap agar para pejabat publik segera mungkin  untuk  berhenti membuat beragam kegaduhan.

Sebab, dalam situasi negara yang kacau seperti saat  ini, harapan utama yang diingini masyarakat adalah pemimpin wajib memberi keteladan yang berorientasi pada kepentingan kemanusiaan universal. Kadang-kadang, sikap dan keteladanan pemimpin yang sejuk, malah bisa menjadi imun dan daya yang dahsyat untuk merasuki cara pikir dan tindak masyarakat ke arah positif thinking yang luar biasa.

Karenanya, kesatuan pendapat, saling mendengar, mengikuti satu arahan pemimpin yakni presiden, hingga pada kesatuan orientasi humanis dikalangan para pejabat publik adalah keharusan. Dengan demikian, saya amat yakin masyarakat pun akan mengikuti dan mentaati setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri. Untuk hal ini, yang harus kedepankan adalah bersatu-bukan bercerai.

Dan pastinya, pemerintah dan masyarakat akan bersatu dalam kesamaan pikiran dan tujuan luhur yang sama pula dengan tetap taat protokol kesehatan. Itu berarti, kekuatan inilah yang harus dan segera dibangun. Sebab salah satu senjata dan obat yang paling mujarab untuk mengalahkan covid-19 adalah dengan membangun semangat juang kolektif dan juga selalu berpikir positif dalam keberagaman.

Tentunya, hal yang paling penting lainnya juga adalah keberpihkana kebijakan anggaran dari pemerintah dan juga semangat untuk terus berdoa pada Sang Kuasa tanpa henti. Mari jangan bersatu untuk terus berpesta pora dan melawan protokol kesehatan, tetap bersatu dalam sikap bercerai yakni jaga jarak dan taat protokol kesehatan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. 

Untuk itu, marilah kita bercerai untuk melawan virus covid-19 dengan taat protokol kesehatan dan marilah kita bersatu dalam pemahaman kolektif positif dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan humanis agar covid-19 tidak melenyapkan hidup dan kehidupan kita***

 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar