Sabtu, 07/11/2020 tepat jam 08 pagi
wita angsa putih (mobil) warna putih milik Kepala Sekolah SMAS Katolik Regina
Pacis Bajawa, Bapak Hendrianto Emanuel Ndiwa meluncur pelan menuju Mauponggo.
Masih tujuan yang sama, dihadapan
kami ada mobil Yasukda. Ritme perjalanannya juga pelan. Maklum di dalam mobil
ada Ketua Yasukda RD. Silverius Betu dan juga keluarga besar STIPER FB (Bapak
Man Tuga dan RD. Paul Azi). Itulah semangat persaudaraan yang tak mengenal
sekat dan jabatan. Sebab jabatan adalah kefanaan-yang abadi adalah
persaudaraan.
Dalam perjalanan, tepatnya di
kampung mana Mataloko ada satu realitas yang pada hemat saya bisa dijadikan
refleksi pribadi. Saya melihat ada beberapa anak laki-laki di pinggir jalan yang
diperkirakan anak SMP yang sedang memikul pacul dan tidak pakai baju. Anak-anak
ini pastinya anak petani yang cuman memiliki satu tujuan yakni pergi ke kebun
untuk kerja. Ini hanya perkiraan saya, karena tidak sempat berhenti untuk
bertanya. Maaf jika salah.
Hemat saya, inilah bentuk perjuangan
anak-anak. Selain, mereka memperjuangkan untuk ikut KBM online yang serba
kesulitan, tapi juga tetap memiliki daya juang untuk bekerja demi sesuap nasi.
Ini hanya semacam pengantar, yang saya anggap penting untuk dinarasikan.
Tepat pukul 09.30 Witeng, sampailah
kami di Mauponggo, khususnya di Kampung Sawu Obo. Perlu diketahui, Sawu Obo
adalah kampung yang di dalamnya ada rumah orang tua RD Silverius Betu yang saat
ini dipercayakan oleh Keuskupan Agung Ende untuk menjabat sebagai Ketua
Yasukda.
Sesampainya di rumah RD. Sil, kami
langsung disuguhi dengan minuman segar alias kelapa muda yang sangat aduhai.
Sambil menikmati segarnya air kelapa muda itu, saya langsung menggunakan
kesempatan yang baik itu untuk duduk berdiskusi dengan ayah RD. Sil yakni Bapak
atau Opa terkasih Yohanes Poso.
Karenannya ulasan sederhana atau
sedikit cerita sejarah berikut ini adalah hasil dari wawancara antar saya dan
Opa Yohanes. Walau umurnya sudah cukup lanjut, tapi daya ingatnya masih
cermerlang dan berisi. Dan saya merasa penting untuk menulisnya. Sebab tulisan
takkan pernah lekang oleh waktu. Kren kan. Hehehe.
***
Kampung adat Sawu Obo sebetulnya hijrah
dari kampung lama yang berada di bukit Belo Kaju Wawo. Saat ini kampung lama
sudah ada gua Maria yang sangat megah dan indah. Sudah dilengkapi dengan jamban
yang sangat bagus. Suasananya hening. Hanya ada suara kicauan burung.
Tempatnya cukup tinggi sehingga mata
kita akan dimanja oleh pemandangan yang luar biasa. Di depan gua Maria berdiri
megah Peo hidup yang umurnya sudah mulai menua. Tak heran tempat ini sudah
menjadi tempat ziarah rohani. Tentang kampung lama cukup dulu e. Tapi jangan
lupa datang ziarah ya.
Kampung Sawu Obo memiliki
batas-batas sebagai berikut; Barat dengan Bokoli, Timur dengan bukit Wolo Oja
dan Kampung Pusu, Utara denga Bukit Kaju Wawo, sedangkan Selatan dengan jalan
raya arah kampung Ledo Woru.
Dari bagian selatan dengan jarak
kurang lebih 500 meter, kita akan menjumpi bangunan gapura yang megah dengan
tulisan; “Selamat Datang Di Kampung Sawu Obo”. Gapura ini dibangun pada tahun
2003. Di mana sebelum gapura ini dibangun terlebih dahulu diadakan acara Pebha
(acara bunuh dan gantung kerbau). Acara adat Pebha dilaksanakan pada tahun 2002
dan ada 22 ekor kerbau yang dibunuh kala itu.
Sekilas latar belakang nama kampung
Sawu Obo. Sawu mau menegaskan bahwa dahulu nenek moyang orang Sawu itu berasal
dari Sabu (Timor). Sedangkan Obo adalah tuan tanah.
Di tengah kampung ada Peo hidup.
Pemilihan kayu untuk tanam Peo adalah harus dari kayu kesi. Peo hidup ini di
tanam pada tahun 60-an. Saat ini Peo hidup sudah besar dan rimbun seperti pohon
beringin. Jika ada niat mau memangkas ranting-rantingnya dan juga memperindah,
maka harus ada korban darah Babi.
Bagian selatan kampung, ada rumah
adat yang dalam bahasa daerah disebut Nde. Nde adalah tempat untuk menyimpan
bibit tanaman apa saja. Dahulu, sebelum musim tanam tiba, semua bibit harus
rusah disimpan di dalam Nde. Dan bibit yang ditanam haruslah yang diambil dari
dalam Nde. Hal ini diyakini agar tanaman terhindar dari virus, wabah dan
binatang liar lainya.
Sedangkan dibagian utara ada rumah
adat lagi yang dalam bahasa daerah disebut Yenda. Yenda adalah tempat untuk
menyimpan tanduk kerbau dan rahang babi setelah acara Pebha usai. Selain itu,
di dalam rumah adat Yenda ada patung kuda beranama Jara Yenda yang ditunggangi
oleh dua orang manusia sebagai lambang kepahlawanan.
Bentuk atau model rumah di kampung
ini sangat bervairiasi. Ada yang masih berbentuk panggung namun unik. Ada juga
yang sudah mengikuti gaya rumah modern. Di teras rumah, pada umumnya ditumbuhi
rumput-rumput hijau yang menjadikan setiap teras rumah indah dipandang mata.
Oya, sebelum lupa menggerogoti otak
saya, saya perlu beritahu satu hal penting. Menurut Opa Yohanes, dua tahun lalu
Pemda Nagekeo yang dalam hal ini Dinas Pariwisata pernah berkunjung ke kampung Sawu Obo.
Dan katanya ada rencana mau
mempercantik dengan berbagai komestik ala dinas terkait agar kampun ini memiliki
rupa yang rupawa yang pada akhirnya dapat menarik mata para wisatawan asing untuk
sedikit menepi ke Sawu Obo. Harapanya, semoga lewat cerita sederhana ini, dinas
terkait bisa inga-inga lagi e. Kita berharap tidak lupa-lupa e.
Sekian dulu e. Ada waktu, datanglah
ke kampung Sawu Obo. Di sana ada surga kecil untuk kita nikmati.
2 Komentar
Mantab deskripsi dan narasinya Pak. Salam🙏
BalasHapusTerima kasih
Hapus