Tak dapat dimungkiri, bahwa facebook (FB) adalah salah satu media
sosial (medsos) yang sangat digemari manusia. Baik bagi masyarakat perkotaan,
pedesaan hingga dunia anak. FB sungguh telah mencandui perut, pikiran dan hati
manusia. Seharian rela tak makan—asalkan bermain FB.
Alhasil, FB menjadi lebih penting dari makanan
dan minuman. Hanya dalam hitungan detik, orang bisa mengakses aneka informasi
lalu meng-update status dan
mem-posting apa saja yang diinginkan.
Setiap momen penting yang dialami, baik
personal maupun komunal, tampil secara lugas dan diabadikan dalam kata
dan foto bahkan video. Lazimnya, apa yang di-posting pada dinding dunia maya,
entah dalam bentuk frase, gambar ataupun video merupakan bentuk ekspresi emosi
yang sedang dialami seseorang. Sekaligus mau menyiratkan pesan-pesan informatif
kepada publik mengenai situasi perasaanya saat itu. Mungkinkah lagi marah atau
lagi bergembira. Entahlah.
Lucunya lagi, orang akan merasa puas dan
bahkan bangga ketika berbagai pengalamanya, juga apa yang dirasakan sudah
dibagikan kepada orang lain melalui dinding FB. Hati pun akan berbunga-bunga
lantaran status mendapat komentar dan like dari ribuan orang. Amat lucu sih.
Tapi itulah realitas yang besembunyi dibalik argumen kebebasan dan hak otonom
manusia itu sendiri.
Sebab, dalam konteks berbagi, FB telah
dijadikan sebagai wadah yang amat primadona untuk semua kalangan warganet.
Bahkan ditengah kesibukan dengan pekerjaan masing-masing para warganet takkan
pernah melewatkan waktu begitu saja tanpa mem-posting sesuatu pada dinding
FB-nya.
Sehingga tak perlu heranlah jika para warganet
selalu menyempatkan diri untuk meng update status lewat beragam formulasi yang
menarik walau pun dalam situasi yang sangat sibuk sekali pun.
Oleh karena itu, tak perlu kaget. Apalagi sok,
ketika kita menyaksikan semakin banyak warganet yang memaknai kebebasan itu
secara salah. Bahkan jangan pandai mengutuk ketika pemaknaan terhadap kebebasan
secara salah pun terus dipraktekan.
Substansi dasar kehadiran media seharusnya
untuk membantu manusia dalam menyebarkan nilai-nilai, justru telah terjadi
sebaliknya. Di sana-sini makin banyak terjadi degradasi nilai-nilai
kemanusiaan yang amat masif.
Selain itu, kita juga sering diperhadapkan
dengan berbagai postingan foto-foto atau video para korban kecelakaan
atau kasus pembunuhan. Dan pada saat yang sama, sebenarnya para pemosting
sedang melakukan proses viktimisasi korban dan menambah rasa sakit serta luka
di atas balutan duka dan kesedihan keluarga.
Dalih-dalih menjadikan diri sebagai warganet
yang berempati, tetapi tanpa sadar justru telah merendahkan martabat manusia
itu sendiri. Padahal, mendoakan dalam hati jauh lebih bermartabat ketimbang
memposting para korban di FB. Tapi itulah realitas. Seringkali warganet
memposting korban dengan sederetan kalimat kudus, supaya dianggap baik dan sok
peduli gitu. Pencitraan yang serentah semakin membunuh korban kian sakit.
Sering pula kita menjumpai status cemoohan,
gosip, sindiran berbau sarah dan agama, hingga penggunaan kata-kata kotor yang
amat jorok. Apalagi kalau akun FB dihack, kehilangan barang tertentu atau ada
rasa tidak puas terheadap seseorang, itu kata-katanya seperti rudal yang
menghancurkan kota Nagasakti dan Hiroshima.
Sehingga, tak heran jikalau kebanyakan
warganet akan merasa puas, jikalau berbagai perasaan kebencian, iri hati bahkan
masalah dalam keluarga sekali pun sudah diposting di FB. Padahal medsos
bukanlah wadah yang tepat untuk menyelesaikan beragam persoalan hidup manusia
itu sendiri.
Ingat FB bukanlah wadah yang menawarkan solusi
yang humanis. Justru sabaliknya akan semakin mengarahkan diri manusia ke jurang
kematian harga diri, sesama dan lingkungan sosial.
Itu berarti, media sosial hanyalah sekadar
menjdi obat bius sesaat dan sesat untuk menghilangkan berbagai persoalan yang
menderah diri kita. Dan pada akhirnya kita sendirilah yang menghempaskan diri
kita ke dalam sampah yang amat menjijikan.
Karenanya, jawaban tepat atas pertanyaan sebagaimana
termaktup pada judul tulisan di atas adalah Ya, manusia menyembah facebook.
***
Solusi
Diakhir tulisan ini saya coba menawarkan 3
solusi yang kiranya dapat menjadi pegangan kita semua dalam memaknai hidup ini
secara bijaksana.
Pertama, menjadikan FB sebagai
ruang kebebasan individu yang didasari oleh semangat sosialis. Itu berarti
kebebasan individu harus dimakanai secara luas.
Bahwa sebagai makhluk sosial, perwujudan
kebebasan individu, kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi serta
mengekspresikan setiap pengalaman dan perasaan kita haruslah disalurkan secara
human dan etis.
Kedua, kode etik bermedia
harus berpegang pada prinsip-prinsip nilai dan norma. Setiap persoalan hidup
haruslah diselesaikan dengan mengandalkan peran-peran sesama secara langsung
dan bukanya mengandalkan peran medsos.
Sebab, setiap luka hidup hanya bisa
disembuhkan, kalau manusia selalu mengandalkan peran-peran sesamanya secara
langsung lewat berbagai pendekatan yang humanis. Sebaliknya, luka itu akan
menjadi sumber nanah yang mampu meracuni martabat manusia hingga mati, jika
manusia terus menyambah FB seperti Tuhan
Oleh karena itu, kebebasan dalam bentuk apa
pun haruslah mampu membebaskan diri, sesama dan lingkungan sosial. Mampu
melahirkan rasa nyaman, memiliki daya positif bagi sesama. Bahkan harus mampu
untuk mempertinggi martabat manusia itu sendiri secara berkelanjutan.
Ketiga, budayakan kebiasaan
refleksi sebelum istirahat malam. Manusia adalah makhluk pencipta sekaligus
penghisap kisah-kisah hidup. Jika hari yang telah lalu, saya pernah menyakiti
sesama lewat FB segeralah bertobat.
Pada saat-saat seperti itu, refleksi menjadi
amat urgen. Lewat refleksi, sebenarnya kita sedang berbincang-bincang dengan
Tuhan. Darinya, kita dituntun oleh Roh Kudus uantuk mengetahui berbagai
kelemahan yang telah kita buat sembari menyadarinya dengan sungguh.
Penyadaran itu pun harus diwujudkan dalam
tindakan konkret. Sederhananya begini. Berpikir dahulu sebelum berbuat. Tak
sulit bukan. Ini menjadi amat penting untuk membangun komitmen yang
berkelanjutan tanpa henti. Bahwa saya, Anda dan kita sekalian tidak pernah
boleh lagi untuk selalu jatuh pada lubang yang sama.
Kita harus bangkit untuk menunjukan diri kita masing-masing sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan mampu menempatkan diri pada tempat dan waktu yang tepat***
Oleh Bonefasius Zanda.
Tulisan ini pernah diterbitkan pada media online Geotimes, 16/07/2019. Dan ditebitkan ulang pada blog ini dengan sedikit perubahan seperlunya.
0 Komentar