MANUSIA YANG MENYEMBAH FACEBOOK?


                                                                           tekno.tempo.co


Tak dapat dimungkiri, bahwa facebook (FB) adalah salah satu media sosial (medsos) yang sangat digemari manusia. Baik bagi masyarakat perkotaan, pedesaan hingga dunia anak. FB sungguh telah mencandui perut, pikiran dan hati manusia. Seharian rela tak makan—asalkan bermain FB.

 

Alhasil, FB menjadi lebih penting dari makanan dan minuman. Hanya dalam hitungan detik, orang bisa mengakses aneka informasi lalu meng-update status dan mem-posting apa saja yang diinginkan.

 

Setiap momen penting yang dialami, baik personal maupun komunal, tampil  secara lugas dan diabadikan dalam kata dan foto bahkan video. Lazimnya, apa yang di-posting pada dinding dunia maya, entah dalam bentuk frase, gambar ataupun video merupakan bentuk ekspresi emosi yang sedang dialami seseorang. Sekaligus mau menyiratkan pesan-pesan informatif kepada publik mengenai situasi perasaanya saat itu. Mungkinkah lagi marah atau lagi bergembira. Entahlah.

 

Lucunya lagi, orang akan merasa puas dan bahkan bangga ketika  berbagai pengalamanya, juga apa yang dirasakan sudah dibagikan kepada orang lain melalui dinding FB. Hati pun akan berbunga-bunga lantaran status mendapat komentar dan like dari ribuan orang. Amat lucu sih. Tapi itulah realitas yang besembunyi dibalik argumen kebebasan dan hak otonom manusia itu sendiri.

 

Sebab, dalam konteks berbagi, FB telah dijadikan sebagai wadah yang amat primadona untuk semua kalangan warganet. Bahkan ditengah kesibukan dengan pekerjaan masing-masing para warganet takkan pernah melewatkan waktu begitu saja tanpa mem-posting sesuatu pada dinding FB-nya.

 

Sehingga tak perlu heranlah jika para warganet selalu menyempatkan diri untuk meng update status lewat beragam formulasi yang menarik walau pun dalam situasi yang sangat sibuk sekali pun.

Oleh karena itu, tak perlu kaget. Apalagi sok, ketika kita menyaksikan semakin banyak warganet yang memaknai kebebasan itu secara salah. Bahkan jangan pandai mengutuk ketika pemaknaan terhadap kebebasan secara salah pun terus dipraktekan.

 

Substansi dasar kehadiran media seharusnya untuk membantu manusia dalam menyebarkan nilai-nilai, justru telah terjadi sebaliknya. Di sana-sini  makin banyak terjadi degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang amat masif.

 

Selain itu, kita juga sering diperhadapkan dengan berbagai  postingan foto-foto atau video para korban kecelakaan atau kasus pembunuhan. Dan pada saat yang sama, sebenarnya para pemosting sedang melakukan proses viktimisasi korban dan menambah rasa sakit serta luka di atas balutan duka dan kesedihan keluarga.

 

Dalih-dalih menjadikan diri sebagai warganet yang berempati, tetapi tanpa sadar justru telah merendahkan martabat manusia itu sendiri. Padahal, mendoakan dalam hati jauh lebih bermartabat ketimbang memposting para korban di FB. Tapi itulah realitas. Seringkali warganet memposting korban dengan sederetan kalimat kudus, supaya dianggap baik dan sok peduli gitu. Pencitraan yang serentah semakin membunuh korban kian sakit.

 

Sering pula kita menjumpai status cemoohan, gosip, sindiran berbau sarah dan agama, hingga penggunaan kata-kata kotor yang amat jorok. Apalagi kalau akun FB dihack, kehilangan barang tertentu atau ada rasa tidak puas terheadap seseorang, itu kata-katanya seperti rudal yang menghancurkan kota Nagasakti dan Hiroshima.

 

Sehingga, tak heran jikalau kebanyakan warganet akan merasa puas, jikalau berbagai perasaan kebencian, iri hati bahkan masalah dalam keluarga sekali pun sudah diposting di FB. Padahal medsos bukanlah wadah yang tepat untuk menyelesaikan beragam persoalan hidup manusia itu sendiri.

 

Ingat FB bukanlah wadah yang menawarkan solusi yang humanis. Justru sabaliknya akan semakin mengarahkan diri manusia ke jurang kematian harga diri, sesama dan lingkungan sosial.

Itu berarti, media sosial hanyalah sekadar menjdi obat bius sesaat dan sesat untuk menghilangkan berbagai persoalan yang menderah diri kita. Dan pada akhirnya kita sendirilah yang menghempaskan diri kita ke dalam sampah yang amat menjijikan.

 

Karenanya, jawaban tepat atas pertanyaan sebagaimana termaktup pada judul tulisan di atas adalah Ya, manusia menyembah facebook.


***


Solusi

 

Diakhir tulisan ini saya coba menawarkan 3 solusi yang kiranya dapat menjadi pegangan kita semua dalam memaknai hidup ini secara bijaksana.

 

Pertama, menjadikan FB sebagai ruang kebebasan individu yang didasari oleh semangat sosialis. Itu berarti kebebasan individu harus dimakanai secara luas.

 

Bahwa sebagai makhluk sosial, perwujudan kebebasan individu, kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi serta mengekspresikan setiap pengalaman dan perasaan kita haruslah disalurkan secara human dan etis.

 

Kedua, kode etik bermedia harus berpegang pada prinsip-prinsip nilai dan norma. Setiap persoalan hidup haruslah diselesaikan dengan mengandalkan peran-peran sesama secara langsung dan bukanya mengandalkan peran medsos.

 

Sebab, setiap luka hidup hanya bisa disembuhkan, kalau manusia selalu mengandalkan peran-peran sesamanya secara langsung lewat berbagai pendekatan yang humanis. Sebaliknya, luka itu akan menjadi sumber nanah yang mampu meracuni martabat manusia hingga mati, jika manusia terus menyambah FB seperti Tuhan

 

Oleh karena itu, kebebasan dalam bentuk apa pun haruslah mampu membebaskan diri, sesama dan lingkungan sosial. Mampu melahirkan rasa nyaman, memiliki daya positif bagi sesama. Bahkan harus mampu untuk mempertinggi martabat manusia itu sendiri secara berkelanjutan.

 

Ketiga, budayakan kebiasaan refleksi sebelum istirahat malam. Manusia adalah makhluk pencipta sekaligus penghisap kisah-kisah hidup. Jika hari yang telah lalu, saya pernah menyakiti sesama lewat FB segeralah bertobat.

 

Pada saat-saat seperti itu, refleksi menjadi amat urgen. Lewat refleksi, sebenarnya kita sedang berbincang-bincang dengan Tuhan. Darinya, kita dituntun oleh Roh Kudus uantuk mengetahui berbagai kelemahan yang telah kita buat sembari menyadarinya dengan sungguh.

 

Penyadaran itu pun harus diwujudkan dalam tindakan konkret. Sederhananya begini. Berpikir dahulu sebelum berbuat. Tak sulit bukan. Ini menjadi amat penting untuk membangun komitmen yang berkelanjutan tanpa henti. Bahwa saya, Anda dan kita sekalian tidak pernah boleh lagi untuk selalu jatuh pada lubang yang sama.

 

Kita harus bangkit untuk menunjukan diri kita masing-masing sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan mampu menempatkan diri pada tempat dan waktu yang tepat***


Oleh Bonefasius Zanda.

Tulisan ini pernah diterbitkan pada media online Geotimes, 16/07/2019. Dan ditebitkan ulang pada blog ini dengan sedikit perubahan seperlunya.


 

Posting Komentar

0 Komentar