Dampaknya, dunia pendidikan hanya ada gedungnya namun tak ada isinya. Oleh karenanya, agar proses pendidikan tetap berjalan, maka guru melek teknologi adalah keharusan-Bonefasius Zanda*
Keberadaan
dan status saya kini tidak pernah dilepaspisahkan dari masa lalu. Bagiku, masa
lalu semacam lemari emas yang menyimpan beragam emas, tentunya. Untuk itu
menceritakan masa lalu adalah keharusan.
Bukan
mau lebay. Bukan juga mau mengumbar keburukan atau kebaikan. Tapi, sekali lagi,
masa lalu adalah lemari emas yang menyimpan beragam emas.
Karenanya,
lemari emas itu mampu mengubah yang buruk menjadi emas. Sedangkan yang baik
tetaplah menjadi emas. Untuk itu, emas tetaplah emas. Tak bisa diubah untuk
menjadi karat. Namun yang karat bisa diubah menjadi emas.
Tentang
aku. Aku dahulu ibarat corona. Virus corona masa lalu yang sering saya hidupi
adalah kemalasan yang sering bikin guru kepala sakit. Bikin guru sakit hati.
Bahkan sampai membuat mata guru menjadi gelap. Akhirnya berbagai benda disulap oleh
guru menjadi rotan yang siap menguliti tubuhku.
Itulah
corona masa lalu. Terlepas dari adanya kekerasan untuk melenyapkan virus corona
dari dalam diri saya, tapi saya bersyukur guru telah membentuk saya sepertinya
adaku saat ini yakni menjadi guru. Aku jadi guru karena guru.
Bagaimana
dengan aku saat ini yang sudah menjadi guru? Menjadi guru kini sebetulnya sama
dengan yang dahulu. Harus sabar. Harus berjuang tanpa kenal lelah. Dan jangan
cepat putus asa atau steresssssssss. Hehehe.
Sedangkan yang beda hanya pola dalam mendidik itu sendiri. Mengapa beda. Iya,
sudah beda zaman. Jadi pola juga harus beda.
Namun
jadi guru masa kini, semuanya jadi lebih beda. Kalau jadi guru dahulu, teknologi
itu tidak penting. Bahkan sangat tidak penting. Tapi sekarang, jadi guru harus
melek teknologi.
Walau
begitu, secara pribadi saya seringkali sudah mati sebelum saatnya. Sebab saya
sering memperagakan sikap-sikap untuk menjadi guru yang hidup pada zona zaman.
Ini terbukti ketika belum ada corona, saya jarang gunakan teknologi dalam proses
belajar mengajar bersama siswa.
Namun
hadirnya corona, semuanya bukan hanya beda tapi memang sudah beda dan harus
berbeda. Guru harus melek teknologi. Jika tidak, sekali lagi guru akan mati
sebelum saatnya.
Dampaknya,
dunia pendidikan hanya ada gedungnya namun tak ada isinya. Oleh karenanya, agar
proses pendidikan tetap berjalan, maka guru melek teknologi adalah keharusan.
Pada
titik ini saya merefleksikan kehadiran dan keberadaan corona dari dua
perspektif. Pertama, keberhasilan pendidikan zaman dahulu, sesekali guru
harus menjadi pribadi yang sangat sangar seperti virus corona itu sendiri.
Kalau semuanya serba lembut, bisa jadi saya tidak bisa menjadi guru kini. Saya
tidak sedang membenarkan proses atau gaya guru zaman dahulu. Hehehehehehe.
Kedua, satu sisi corona telah mematikan
manusia. Namun di sisi lain corona telah membangunkan guru dari tidur pulas.
Sebab hanya dengan memiliki tekad untuk bangunlah, guru kini bisa terhindar
dari penyakit yang terus membenci teknologi.
Silakan
pilih. Mau benci artinya siap jadi guru yang “mati”. Mau mencintai teknologi
artinya akan jadi guru yang tetap miliki semangat yang tak pernah padam. Dan
pada hemat saya, salah satu obat mujarab untuk melawan corona kini hanya dengan
miliki sikap berani berubah dan mau berubah.
Terakhir.
Guru tetaplah segalahnya. Teknologi tak bisa ciptakan manusia. Sebab faktanya,
teknologi adalah hasil ciptaan manusia. Karenanya, sampai kapan pun teknologi
hanyalah menjadi sarana untuk memudahkan guru dalam proses belajar mengajar.
Itulah
guru. Baik dahulu maupun kini, guru tetaplah guru yang mampu mengubah yang
karat menjadi emas.
Semoga
saya tetap mencintai profesi yang mulia ini hingga Tuhan menjemputku.
Love untuk semua guru-guruku. Bagi yang
sudah meninggal, semoga bahagia bersama para kudus di surga.
Selamat
Hari Guru-25 November 2020.
2 Komentar
Ya, guru yang terus belajar mestinya terus berada di dalam ruang lingkup kerjanya dengan agar dapat mengikuti perkembangan zaman termasuk tidak gagap dan gagal memanfaatkan produk teknologi informasi dan komunikasi. Saya sepakat bahwa guru zaman ini sudah harus berani move on. Saya menulis tentang hal-hal ini pada buku saya yang terbit tahun 2015, salah satu artikel di dalam buku itu saya tulis tahun 2010. Terima kasih pak untuk artikel ini
BalasHapusSemoga saya bisa dapat pak guru punya buku e
Hapus