Meneropong Pendidikan Kita Saat Ini

docplayer.info

"Dampaknya, manusia yang dihasilkan dari pendidikan model ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya" Henrikus Rindu    


Sulit untuk kita mungkiri bahwa bagi orang-orang yang berkompeten pada pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih belum maksimal. 

Proses pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia yang lebih humanis, namun dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Antara harapan dan kenyataan acapkali saling berseberangan.

Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang belum mampu untuk mengakomodir kebutuhan pendidikan masyarakat kita. Juga  karakteristik perkembangan peserta anak didik di rumah maupun di sekolah.

Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Atau pendidikan hanya berbasikan permendikbud. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.

Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Namun persoalan pendidikan saat ini  adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa.

Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan atau diajarkan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box. Di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Karenanya, model pendidikan semacam ini tidak membebaskan, sebab sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Dampaknya, manusia yang dihasilkan dari pendidikan model ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.

Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi. Akhirnya, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia timur/asia).

Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu cenderung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan asia”, sebab asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan politik internasional.

Bukan bermaksud anti-barat. Namun lebih kepada ajakan untuk semua terkhusus para pelaku pendidikan untuk sama-sama melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita.

Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?

Jawabanya adalam mampu. Karenanya, salah satu dasarnya adalah mari memaknai pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang pada hemat saya sangat dan selalu relevan untuk direnungkan dan dipraktekan dalam setiap proses pendidikan itu sendiri.


Oleh Henrikus Rindu 
Pemerhati Masalah Pendidikan


Posting Komentar

6 Komentar

  1. Betul setuju. Pendidikan yang berakar dari budaya kita. Kembangkan.

    BalasHapus
  2. Sangat setuju bro.
    Utk saat ini didik anak bukan hanya utk berkompetisi tetapi jg bagaimana mereka bs bekerja sama (intinya pengembangan karakter yg sudah menjadi trend di lembaga Recis)

    BalasHapus
  3. Kenapa di akhir yang muncul Hendrikus Rindu? Rupanya blog ini mulai diisi oleh para penulis yang "menumpang". Menarik

    BalasHapus