Kepribadian Bangsa Dalam Bingkaian Nilai


                           Henrikus Rindu

            Pendidik SMPN 5 Kota Kupang


Tak dapat dimungkiri bahwa pendidikan adalah dasar untuk sebuah perubahan. Untuk itu, jikalau pendidikan memiliki peran penting dan strategis untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup suatu bangsa adalah benar adanya.

Pendidikan secara sosio-antropologis merupakan transformasi seleksi dan pengembangan nilai-nilai sosial-budaya dari generasi satu ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, pendidikan nilai adalah acuan dan alur terjadinya transformasi kebudayaan nasional.

Selanjutnya, pendidikan nilai berperan untuk memberikan karakteristik umum bagi keanekaragaman norma, adat istiadat, etnis dan budaya lokal yang menjadi akar budaya nasional itu sendiri. Dengan demikian, harapan agar pendidikan nilai mampu menyerap sains dan teknologi tinggi dalam mengikuti arus globalisasi, sekaligus mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kepribadian Indonesia dapat terwujud.

Dengan demikian, lembaga pendidikan yang merupakan ”pintu keluar” bagi orang-orang yang pada akhirnya dapat memajukan bangsa ini dengan penuh tanggung jawab.

Selanjutnya, lembaga pendidikan, baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik secara profesional dan berkelanjutan. Hal ini amat urgen, mengingat melalui rahim lembaga pendidikanlah akan lahir manusia-manusia yang bisa diandalkan untuk kemajuan bangsa dan negara, tentunya.

Lebih jauh, dengan penginternalisasian nilai-nilai luhur bangsa diharapkan lembaga pendidikan secara khusus mampu melahirkan tenaga-tenaga profesional yang punya semangat dan gerakan produktif dan konstruktif serta punya kepekaan tinggi terhadap segala perubahan yang dihadapi di tengah masyarakat dalam era pembangunan yang penuh persaingan.

Fungsi lembaga pendidikan dituntut lebih efektif saat ini, terutama saat era globalisasi. Sebab, era globalisasi mampu menghasilkan titik temu antara berbagai ragam budaya dunia (multi cultural). Sekaligus memberi peluang untuk mengembangkan dan memperkaya khasanah nilai-nilai dan kebudayaan.

Karena itu, lembaga pendidikan harus memberi bekal kepada peserta didik (siswa dan mahasiswa) dengan berbagai kemampuan untuk menyaring nilai-nilai baru yang bermanfaat untuk dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan mereka yang akan datang. 

Coba kita sedikit melihat ke belakang. Dahulu, pola pendidikan nilai dan budaya bangsa di lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi selama Orde Baru dilakukan dengan cara penataran-penataran. Sebagai contoh penataran P4 yang pada masa Orde Baru dipandang cukup ”ampuh” untuk mentransfer dan menanamkan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik.

Cara demikian memang tidak dapat disangkal akan memasyarakatkan nilai-nilai luhur itu sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan nilai-nilai luhur itu hanya sekadar dipahami dan dimengerti oleh peserta didik. Tindakan praksis atas persetujuan terhadap nilai-nilai yang dipahami belumlah secara total diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tak heran jika dapat kita hitung dengan jari, berapa persen yang mampu mengamalkan nilai-nilai luhur secara murni dan konsekuen. Semisal, tindak korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak dilakukan orang-orang yang selalu mendengungkan nilai-nilai kebenaran itu. Ini semua merupakan fakta nilai-nilai yang selama ini diajarkan belum terinternalisasikan secara bertanggung jawab.

Kenyataan ini boleh jadi merupakan indikator kegagalan strategi penanaman nilai-nilai luhur bangsa dengan penataran kepada peserta didik sebagai generasi muda yang akan mengantarkan bangsa dan negara ini menuju kemajuan dan kemandirian.

Kegagalan ini tidak hanya karena strategi penanaman nilai yang cenderung mendoktrin, tetapi juga karena jurang pemisah antara nilai-nilai yang diajarkan dengan kenyataan sebagaimana menyata melalui perilaku-perilaku yang menyimpang. Akibatnya nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan diaplikasikan dalam kehidupan hanya menjadi impian.

Oleh karena itu, perlu ada pola baru dalam pendidikan nilai. Dua pola akan saya kedepankan. Pertama, pendidikan nilai berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Dengan pola ini peserta didik diberi kesempatan menggunakan pengalamannya untuk menafsirkan nilai-nilai yang diajarkan. Selanjutnya mereka dibawah pada kenyataan hidup, misalnya ke tempat-tempat permukiman kumuh, ke pengadilan untuk melihat proses keadilan dalam hukum, ke panti asuhan dan lain-lain.

Dalam pola ini peserta didik diberi kesempatan untuk mengkritik hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai yang diajarkan. Dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran untuk mempertahankan dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai luhur bangsa.

Kedua, penanaman nilai-nilai luhur melalui semua mata pelajaran atau mata kuliah. Artinya pendidikan nilai tidak harus dieksplisitkan sebagai mata kuliah atau mata pelajaran khusus tetapi dapat secara implisit pada semua mata kuliah, bahkan pada semua mata pelajaran atau bidang ilmu lainnya.

Hal ini penting mengingat bahwa semua mata pelajaran atau mata kuliah baik itu yang terkait dengan ilmu eksakta seperti matematika, biologi, fisika, kimia atau ilmu sosial seperti ekonomi, pemerintahan, jurnalistik, maupun yang terkait dengan ilmu-ilmu humaniora seperti kesusastraan dan bahasa tidak akan terlepas dengan nilai yang kaitannya dengan kehidupan manusia.

Seorang pengajar pada saat mentransfer ilmu harus tetap mempertemukan antara arah ilmu yang dipelajari peserta didik dengan nilai-nilai kepribadian bangsa. Dengan demikian peserta didik selalu dikenalkan dan dibiasakan dengan nilai kemanusiaan yang terkandung di dalam ilmu itu. Sehingga, baik secara kognitif dan afektif mereka memperoleh pendidikan nilai melalui berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dipelajari.

Karena itu, harapan agar peserta didik dan generasi penerus bangsa yang tidak hanya mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan sebagai modal untuk berkompetisi global, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menjaga nilai dan menggunakan ilmunya dengan tetap sejalan dengan nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia dapat digapai.

Dan pada akhirnya, bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan pada berbagai bidang kehidupan tanpa harus melepaskan jati diri sebagai bangsa Indonesia itu sendiri***

Posting Komentar

4 Komentar