Sulit untuk kita mungkiri bahwa bagi
orang-orang yang berkompeten pada pendidikan akan menyadari bahwa dunia
pendidikan kita sampai saat ini masih belum maksimal.
Proses pendidikan yang seharusnya
memanusiakan manusia yang lebih humanis, namun dalam kenyataannya seringkali
tidak begitu. Antara harapan dan kenyataan acapkali saling berseberangan.
Kepribadian manusia cenderung
direduksi oleh sistem pendidikan yang belum mampu untuk mengakomodir kebutuhan
pendidikan masyarakat kita. Juga
karakteristik perkembangan peserta anak didik di rumah maupun di
sekolah.
Hal yang sering disinyalir ialah
pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada
murid. Atau pendidikan hanya berbasikan permendikbud. Apalagi dengan istilah
yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan
manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga
yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan
teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal
tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan
atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan
kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut
dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Namun persoalan pendidikan saat
ini adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan
karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa.
Guru sebagai pemberi mengarahkan
kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang
diceritakan atau diajarkan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi.
Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box. Di mana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Karenanya, model pendidikan semacam ini tidak
membebaskan, sebab sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam
pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh
mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak
mempunyai pengetahuan apa-apa.
Dampaknya, manusia yang dihasilkan dari pendidikan model ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi. Akhirnya, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia timur/asia).
Bukankah kita telah sama-sama
melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu cenderung dengan hal-hal yang
berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur
dalam “strategi kebudayaan asia”, sebab asia kini telah berkembang sebagai
salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan bahkan politik internasional.
Bukan bermaksud anti-barat. Namun
lebih kepada ajakan untuk semua terkhusus para pelaku pendidikan untuk
sama-sama melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita.
Mampukah kita menjadikan lembaga
pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar
akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Jawabanya adalam mampu. Karenanya, salah satu dasarnya adalah mari memaknai pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang pada hemat saya sangat dan selalu relevan untuk direnungkan dan dipraktekan dalam setiap proses pendidikan itu sendiri.
6 Komentar
Betul setuju. Pendidikan yang berakar dari budaya kita. Kembangkan.
BalasHapusTerima kasih
HapusSangat setuju bro.
BalasHapusUtk saat ini didik anak bukan hanya utk berkompetisi tetapi jg bagaimana mereka bs bekerja sama (intinya pengembangan karakter yg sudah menjadi trend di lembaga Recis)
Trims guru
HapusKenapa di akhir yang muncul Hendrikus Rindu? Rupanya blog ini mulai diisi oleh para penulis yang "menumpang". Menarik
BalasHapusPenulisnya pak guru
Hapus