Tak dapat dimungkiri bahwa Kitab Undang Hukum Pidana
(KUHP) adalah produk hukum kolonial (Kompas.com, 1/03/2018). Jika ditelisiki
lebih dalam, isinya pun mencantumkan banyak pasal yang tidak relevan dengan
realitas saat ini. Atau dengan kata lain, sudah tidak realistis dengan situasi
yang kekinian.
Semisal, dalam KUHP, pengaturan tentang kekerasan
seksual terhadap perempuan sungguh jauh dari harapan. Bisa dibilang amat sempit
ruang geraknya. Yang diatur hanya
terbatas pada tindakan pemerkosaan dan percabulan. Sedangkan pasal yang
mengatur tentang perlindungan korban dari ancaman dan kekerasan verbal lainnya
nihil.
Akibatnya, perempuan yang mengalami kekerasan
seksual, fisik maupun verbal, acapkali tidak dilindungi oleh hukum yang
mengikat. Atas dasar itulah, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Perempuan (RUU PKS) lahir sebagai sebuah ketentuan khusus (lex specialist) dari KUHP
itu sendiri.
Hemat saya, salah satu penyebab maraknya kekerasan terhadap
perempuan disebabkan oleh ketumpulan dan kurang jaminan payung hukum yang tidak
tegas. Berikut saya paparkan jumlah kasus terhadap perempuan. Dilansir dari Kompas.id
(7/03/2020) bahwa Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) 2020 melaporan kekerasan terhadap perempuan
pada tahun 2019 mencapai 431.471 kasus. Angka ini jauh melonjak dibandingkan
Catahu Komnas Perempuan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 54.425 kasus atau
naik 792 persen.
Sementara, pada Catahu tahun 2020, Komnas Perempuan
menemukan jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak
2.341kasus (sekitar 65 persen) dibandingkan tahun 2018 (1.417 kasus). Dan
kekerasan seksual mencapai (571 kasus).. Sedangkan kasus kekerasan seksual pada
ranah personal atau keluarga yakni (1.071 kasus). Sadisnya, para pelaku justru disutradarai oleh ayah maupun paman
kandung.
Dilain pihak kejahatan terhadap perempuan berbasis siber pun terus terjadi. Pada 2019, fenomena kejahatan ini meningkat terutama dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto hingga video korban. Begitu juga dengan kekerasan seksual terhadap perempuan difabel meningkat 47 persen.
Berbagai realitas kekerasan terhadap perempuan
sebagaimana telah dipaparkan di atas, sudah sangat kuat untuk dijadikan bukti
penglegitimasian terhadap pengesahan RUU PKS. Apalagi, Indonesia juga sudah
meratifikasi konvensi Cedaw atau
kesepakatan internasional untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No.7 Tahun 1984.
Oleh karena itu, sebagai negara anggota yang
meratifikasi Cedaw, pemerintah
Indonesia harus membuat peraturan yang pada intinya dalah menghapus stigma dan
diskriminasi terhadap perempuan. Selain itu dibutuhkan regulasi yang memberikan
perlindungan terhadap perempuan. Sayangnya, sampai sekarang pemerintah dan DPR
terlihat belum memiliki kemauan untuk melaksanakan mandat tersebut.
Ditambah lagi dengan KUHP/KUHAP yang selama ini
dijadikan rujukan hukum bagi aparat penegak hukum dalam menangani permasalahan
kekerasan seksual dianggap belum mampu memberikan rasa keadilan bagi korban.
Selain itu para penegak hukum masih mengadopsi cara pandang masyarakat bahwa pemerkosaan adalah soal serangan terhadap moral (asusila) yang akhirnya justru meragukan dan menyalahkan korban seperti pertanyaan tentang “memakai baju apa”, “sedang berada di mana”, “dengan siapa dan jam berapa” yang dilontarkan oleh aparatur penegak hukum ketika menerima laporan tentang kasus pemerkosaan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sangat jelas tidak memiliki rasa simpati dan empati pada korban, melainkan lebih buruk dari itu yakni mengakimi korban dan menjadikan korban mengalami kekerasan yang berkali-kali (reviktimisasi). Tak heran, jika perlindungan terhadap saksi dan korban semakin jauh panggang dari api. Bahkan tidak ada. Lantas, korban seringkali khawatir akan adanya dendam dan sejenisnya yang akan menimpanya dikemudian hari.
Berdasarkan naskah akademik RUU PKS tahun 2017, RUU ini bertumpu pada alasan semakin banyaknya korban dan berkembangnya bentuk-bentuk kekerasan seksual di Indonesia, sementara “sistem hukum yang berlaku belum secara sistematis dan menyeluruh mampu mencegah, melindungi, memulihkan, dan memberdayakan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapuskan kekerasan seksual”.
Misalnya, KUHP belum mengakomodasi jenis kekerasan
seksual seperti pelecehan dan eksploitasi seksual. Selain itu, belum ada
mekanisme hukum yang mempertimbangkan perspektif pengalaman dan perlindungan
bagi korban.
Kita berharap RUU PKS dapat menerobos kebuntuan
penyelesaian kasus kekerasan seksual. Misalnya, hukum acara khusus karena
selama ini tidak diatur dalam KUHAP. Kekerasan seksual biasanya terjadi di tempat
tertutup dan nyaris tidak ada saksi. Jika menggunakan mekanisme hukum acara
sebagaimana diatur KUHAP, dibutuhkan saksi. Dalam kasus kekerasan seksual hal
tersebut sangat sulit dipenuhi. Untuk itu, hukum acara yang diatur RUU PKS
antara lain membolehkan korban menjadi saksi.
Begitu pula dengan alat bukti yang selalu
mengutamakan visum etrepertum. Tapi,
tidak semua kasus kekerasan seksual pembuktiannya bisa dilakukan lewat visum,
karena bentuk kekerasan seksual bisa saja tidak meninggalkan bekas luka di tubuh.
Kita berharap RUU PKS segera disahkan sehingga korban semakin berani untuk
melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya.
Selain itu juga masyarakat juga semakin mengerti
bentuk-bentuk kekerasan seksual. RUU PKS diharapkan mampu memberi rasa keadilan
kepada korban dan penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak mandek. Sebagaimana
telah diatur dalam hukum acara yang sudah menjadi ketentuan hukum formil
tentang tata cara atau presedur hukum. Karenannya, RUU PKS adalah urgen untuk
segera dilakukan pengesahan oleh para pejabat terkait.
Bahwasannya, jaminan terhadap pengakomodiran setiap aspek hukum untuk memenuhi rasa aman dan adil bagi para pencari keadilan pada umumnya dan perempuan pada khususnya adalah sebuah urgensitas yang tak bisa ditawarkan secara berlarut-larut. Karenannya, segera mengesahkan RUU PKS adalah keharusan. Sebab penerapan dan penghayatan praksis hukum yang adil dan humanis, selain sebagai bentuk penghayatan akan nilai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, budaya tapi juga sebagai pencerminan wajah keagamaan universal yakni manusia sebagai gambaran Allah yang telah menjadi identitas dasariah manusia itu sendiri.
0 Komentar