BONGKAR STIGMA SOSIAL, PENTINGKAH?

 

Hidup orang dengan gangguan jiwa selalu diwarnai aneka fakta destruktif. Mereka distigmatisasi oleh masyarakat, bahkan oleh keluarganya, dan didera tindakan kekerasan. Nah siapa yang berani masuk dalam dunia mereka  sekaligus berpihak pada mereka?

Pertanyaan tersebut sudah terjawab sejak tahun 2016 sekurang-kurangnya di wilayah NTT. Jawaban itu terungakap dalam adanya wadah organisasi sosial kemanusiaan bernama Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang dengan Gangguan Jiwa yang dibentuk pada bulan Februari 2016 di Ende. Melalui wadah ini, orang dengan berani, teguh dank omit serta tulus bekerja menjadi relawan. Di bawah pendampingan Pater Avent Saur SVD, kru wadah ini telah membangkit kembali semangat dan kebebasan warga gangguan yang dalam bahasa Pater Avent sebagai orang-orang belum kalah.

Masyarakat pada hampir setiap Kabupaten di Provinsi kita terdapat relawan KKI. Berbagai pencerahan baru dan tindakan nyata lewat sentuhan tangan-tangan kasih para relawan telah mendorong sekian banyak warga gangguan jiwa untuk untuk bangkit. Alhasil perlahan-lahan banyak orang dengan gangguan jiwa tertolong, bahkan pulih.

Kita lihat misalnya pengalaman mantan penderita gangguan jiwa, Anselmus Wara, Warga Ende. Setelah sekian lama dipasung hingga kondisinya mengenaskan pada 2013-2014 lalu, dan setelah menjalani perawatan intensif selama kurang lebih empat tahun, kini Ia pulih, hidup seperti orang-orang normal pada umumnya. Ia menjadi pribadi yang bebas dan terampil dalam urusan program photoshop.

Pada 21 April 2018, kru KKI mulai melebarkan sayapnya ke kota dingin, Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada. Kedatangan kru KKI disambut baik oleh berbagai pihak. Sebagai lembaga Katolik yang memiliki visi-misi berpihak pada orang kecil, SMA Katolik Regina Pacis Bajawa turut mengambil bagian bahkan berani masuk ke dalam dunia ODGJ untuk member warna tersendiri. Selain itu, Asosiasi Guru Penulis Indonesia Cabang Ngada juga turut serta.

Di Bajawa, KKI hadir untuk memberikan pencerahan dalam seminar bertema “Mengubah Stigma Sosial terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa”. Dalam seminar ini, pemerintah terkait yakni Kepala Dinas Kesehatan Gusti Naru tampil sebagai narasumber. Demikian juga Pater Avent yang adalah pendiri dan ketua KKI NTT. Beberapa pihak terkait juga hadir, yakni pihak dinas sosial, direktris rumah sakit serta perwakilan para guru dan siswa dari SMP hingga SMA se-Kabupaten Ngada.

Seminar ini menitikberatkan pada diskusi mengubah stigma sosial terhadap ODGJ. Selain itu, para peserta dan relawan siap bekerja nyata untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ODGJ yang sudah lama ditindas oleh sesamanya.

Mengubah stigma sosial adalah sebuah keharusan. Karena itu, pada tataran aksi, semua pihak yang memiliki tanggung jawab politik dan sosial terhadap ODGJ diharapkan bergerak. Karena itu tanggung jawab politik pemerintah dan wakil rakyat serta tanggung jawab sosial masyarakat setidaknya tidak hanya sebatas kebranian dan kemanisan dibibir, tetapi mesti diwujudkan secara nyata, senyata-nyatanya.

Dalam konteks tertentu, bisa dibilang secara ekstrem bahwa jangan membalut keberpihakan terhadap warga gangguan jiwa dengan kepentingan politis pragmatis dan oportunistis. Moral kemanusiaan semestinya diutamakan.

Untuk menjawabi sekaligus mengejewantahkan pencerahan-pencerahan baru dalam seminar kesehatan jiwa tersebut, keluarga besar SMAK Recis khususnya para siswa mulai melakukan aksi sosial kemanusiaan nyata. Aksi pertama adalah menyebarkan diri dan merajut kasih bersama seorang dengan gangguan jiwa yang sudah popular di kota dingin, Bajawa. Di kota ini, ODGJ tersebut hidup bergelandang, tanpa jaminan ekonomi, kesehatan dan pelbagai aspek lainnya.

Nah bermodalkan kasih tanpa pamrih, saya bersama siswa mulai mengumpulkan uang semampunya. Ada yang menanggung baju, ada yang menanggung rokok, dan pada gilirannya kami merajut kasih bersama beliau tepatnya di Jalan S. Parman, Bajawa. Dalam perjumpaan ini, kami menemukan kasih yang patut direfleksikan secara serius oleh semua pihak.

Warga kota bajawa tentu mengenal ODGJ dimaksud. Dia adalah seorang belum kalah yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Ia tidak senang jika warga mengecap dirinya “gila”, dan tidak suka jika diberi label pencuri ayam. Ia spontan marah jika ada perlakuan tidak wajar dari sesamanya yang notabene adalah orang-orang waras. Perlakuan ini, muncul lantaran adanya stigma. Dengan kata lain, inilah wujud dari stigma, sebuah pandangan negative atau buruk terhadap orang dengan gangguan jiwa.

Stigma masyarakat ini mesti dibongkar. Jika tidak, maka warga gangguan jiwa di Republik ini akan menjadi objek sasaran tindakan destruktif sesamanya.

Ini aksi pertama. Aksi kedua terjadi pada 24 April 2018. Para relawan KKI turun ke jalan-jalan, menjumpai seorang dengan gangguan jiwa lainnya. Dia bergelandang di jalan-jalan kota. Di tanganya selalu ada kertas dan pen. Tempat keluyurannya, seputar area pertamina Boubou, Bajawa.

Ketika menjumpai beliau, para relawan menyapanya, dan beliau langsung menyahut serta saling menyapa. Kepadanya, relawan memberikan sebungkus rokok sebagai pintu masuk ke dalam dunianya. Situasi pun menjadi santai. Stigma bahwa orang dengan gangguan jiwa menyeramkan dan tidak boleh didekati, menjadi sirna seketika.

Dalam situasi santai, para relawan yang adalah siswa-siswi SMAK Regina Pacis Bajawa mulai bergurau dengan beliau. “Om suka menulis dan membaca ya?”Tanya seorang relawan. “Ya, saya suka berpolitik, makanya saya suka tulis dan baca. Saya kecewa karena para politisi kerja hanya tipu. Say juga tidak suka orang-orang olok saya. Kalau ada orang beri saya uang, sering orang muda mengambilnya dengan kasar. Saya juga tidak suka foto,” tuturnya tegas dan berkeluh.

“Om suka baju, tidak?” ujar seorang relawan lagi. “Ya saya suka, tapi jangan ambil lagi ya,” jawabnya. “Nanti kami datang lagi ya bawa baju,” sambar relawan.

Pada akhir gurauan itu, beliau berpesan kepada para relawan untuk tidak boleh mengganggu hidupnya dengan mengolok-olok dirinya. Ketika para relawan hendak bubar, seorang warga menginformasikan beberapa data terkait gelandangan psikotik tersebut. Dia adalah saudara kita.

Dua pengalaman kecil yang melekat kuat pada nurani.  Mereka adalah orang-orang belum kalah dan memiliki hak untuk diperhatikan atau untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan dari pelbagai pihak. Mereka membutuhkan pandangan sekaligus tindakan bermartabat dari pada sesamanya.

Stigma sosial kita pun terbongkar perlahan-lahan. Bahwa warga gangguan jiawa adalah simber keributan dan kekacauan adalah produk sosial yang mesti dihentikan dengan tindakan nyata berpihak pada mereka sebagai manusia, mereka layak diberikan tempat sewajarnya dan seharusnya di dunia ini.

Lantaran besarnya stigma sosial di wilayah ini, maka siswa-siswi Recis Bajawa berani membentuk kelompok “Generasi Pembunuh Stigma Sosial terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa”. Mengubah bahkan membunuh stigma sosial harus dimulai dari generasi penerus, dengan harapan bahwa generasi selanjutnya pada masa yang akan datang adalah sebuah generasi yang bebas dari stigma sosial ODGJ.

Mari kita membongkar stigma sosial ini terutama melalui aksi sosial kemanusiaan tiada henti, bukan sekadar berteori atau berkotbah. Untuk itu, pertanyaan bongkar stigma sosial, pentingkah? Iya memang penting. Salam Sehat Jiwa.

 

 

Posting Komentar

0 Komentar