Dalam tataran hidup sosial acapkali perempuan
selalu di identikan dengan tiga label dstruktif yakni sumur, dapur, dan kasur. Selanjutnya,
sumur selalu identik dengan mencuci dan merawat anak, dapur dihubungkan dengan
memasak, sedangkan kasur dipahami melayani suami di ranjang.
Dampaknya, dalam tataran praksis, siklus
hidup perempuan dari pagi hingga malam selalu diidentikan dengan mencuci,
merawat anak, memasak dan melayani suami. Akhirnya, beragam stigma buruk
terhadap perempuan seakan-akan berurat akar dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika pertanyaan tentang siapakah kaum
perempuan dari persepektif laki-laki, pastinya beragam cara pandang
dikedepankan. Misalnya,
filsuf Friedrik Niezche dan Aristoteles memiliki pendapat yang bernada miris
tentang kaum perempuan. Nietzche melihat perempuan hanya sebagai “seonggok
daging” yang tak memiliki arti sama sekali. Sementara Aristoteles melihat
perempuan sebagai “manusia patung” yang tak memiliki arti apa-apa. Inilah contoh
realitas pemahaman destruktif tentang perempuan yang lahir dari sebuah akuisme
yang sungguh menyesatkan.
Karenanya,
dengan pandangan seperti ini perempuan lalu dipojokkan dan akhirnya harus
menanggung beban penderitaan karena mereka dipandang sebagai manusia yang lebih
rendah derajatnya dari laki-laki.
Menghidupi
Api Semangat Kartini
Mewabahnya fakta seputar
keterlibatan perempuan dalam sektor publik mau melegitemasi bahwa kaum
perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang selalu direndahkan. Untuk memperkuat
realitas humanis ini, beberapa contoh perlu dikedepankan.
Pertama, awal abad ke dua puluh ketika
Kartini, seorang perempuan terdidik yang mengalami pembaratan (modernisasi)
ingin melompat agar tubuhnya keluar dari stigma buruk seputar sumur, dapur, dan
kasur. Sebagai perempuan yang mengenyam pendidikan Barat Kartini memiliki patron
intelektual yang menguatkan serta menghantarkan dirinya agar keluar dari stigma
destruktif tersebut.
Sewaktu menyampaikan gejolak pemikirannya
ke ruang publik kolonial, Kartini tidak memimpin organisasi apa pun. Ia
menuangkan pemikirannya itu melalui tulisan yang dibantu patron intelektualnya.
Dari realitas ini sebenarnya sudah sangat jelas bahwa sejak dahulu, kaum
perempuan sudah menunjukan kualitasnya.
Kedua, perempuan pasca kemerdekaan.
Sepak terjang perempuan saat ini sudah sangat luar bisa. Bahkan ada beberapa
perempaun yang saat ini berada pada posisi strategis. Sebut saja, Sri Mulyani
sebagai Menteri Keuangan, Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan
Perikanan, Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, Khofifah Indar Parawansa,
Gubernur Jawa Timur, Krisdayanti, DPR RI, Julie Laiskodat, DPR RI, Megawati, Ketua Partai PDIP, dan masih
banyak lagi pemimpin perempuan yang sedang membudaya di Republik ini.
Dalam perjalanan waktu, perempuan juga
semakin banyak yang bergabung dalam sektor publik di luar pemerintahan. Hal ini
ditandai dengan adanya tuntutan affirmative
action sebesar 30 persen dalam kehidupan berpolitik. Realitas ini diperkuat oleh menjamurnya perempuan yang memiliki jabatan menjadi fungsionaris partai, bahkan ada yang menjadi
pimpinan partai politik.
Tak heran, saat ini akses perempuan dalam beragam kehidupan serta kesempatan dalam bidang pekerjaan adalah sebuah realitas yang mau menegaskan perempuan tidak biasa dipandang sebelah mata. Karenanya, pembudayan cara pandang buruk yang berdampak pada kekerasan berbasiskan gender segera dihentikan. Bahkan dilenyapkan dari muka bumi. Ini bisa terjadi jika semua manusia mampu menghidupi cara pandang positif tentang diri pada umumnya dan tentang perempuan pada khususnya. Sebagaimana telah diparaktekan di lembaga pendidikan tempat saya mengabdi yang selalu berlaku adil terhadap peserta didik dengan tidak membedakan jenis kelamin. Sebab, di hadapan Sang Pencipta, kita semua adalah sama yakni makhluk yang suci.
0 Komentar