news.detik.com
Entah
sudah berapa lama, tapi seingat saya, sejak Oma Reta yang adalah mama mantuku
tinggal bersama kami, yang namanya berita di TV hampir tak pernah nonton.
Alasanya
simpel. Bukan karena kami tidak suka nonton berita, tapi sebagai anak, kami
berusaha untuk mengalah dengan Oma. Selain usianya sudah uzur yang butuh
hiburan, tapi lebih daripada itu, Oma adalah penggemar setia film anak-anak
yakni kartun frozen. Juga sebagai sahabat setia setiap saat untuk kedua
cucunya.
Tak
heran, saat istirahat siang atau malam, bersama kedua cucunya, Oma seringkali mengisahkan
kembali jalanya film dalam bentuk dongeng hingga kedua cucunya lelap dalam
tidur.
***
Beberapa
minggu lalu, pada saat santap malam bersama, tiba-tiba anak pertama kami, Nona
Maurin yang tak lama lagi masuk SD omong begini:
“Bapak
Boy, saya pernah nonton perang di HP. Orang-orang baku tembak ni. Coba kita
lihat di TV e.”
“Ok
nak,” jawabku sembari membuka chanel TV ONE. Seketika kami semua langsung
menyaksikan hidangan TV yang sangat menyayat hati. Korban warga sipil Ukraina
berjatuhan dan semakin banyak jumlahnya. Tak sanggup melihat luka-luka, aliran
darah dan kematian, Nona Maurin langsung teriak. “Bapak, saya takut. Kita
nonton film frozen saja e.”
Kami
sekeluarga, akhirnya sama-sama nonton film frozen. Sambil nonton, pikiranku
termaktub tiga pertanyaan: Akan seperti apakah masa depan generasi penerus,
jika kini wajah layar TV dan wajah dunia selalu mempertontonkan luka dan saling
melukai? Apakah masalah harus diselesaikan dengan perang? Sampai kapan perang
bisa lenyap dari muka bumi?
Terhadap
tiga pertanyaan di atas, saya sendiri tak bisa menemukan jawabanya. Walau
demikian, saya coba berusaha. Bukan untuk menjawab, tapi saya coba menjelaskan dari
sisi dampak panjang dari perang itu sendiri.
***
Luka
itu bernama perang. Luka yang diakibatkan oleh perang tentu sangat berbeda
dengan luka yang diakibatkan oleh kelalaian kita dalam menggunakan pisau dapur,
misalnya. Ketika tangan kita luka saat membersihkan sayur, yang pasti luka itu
akan cepat sembuh. Tapi seringkali bekas luka itu tetap ada. Kalau pun bisa
hilang, itu butuh waktu untuk terus mengobatinya. Namun pada pihak yang lain,
kita juga tak bisa mengelakan diri bahwa sekecil apa pun luka itu, yang pasti
kita sudah mengalami luka dan terluka.
Akhirnya,
entah sadar atau tidak, luka karena kelalaian mengunakan pisau sebenarnya akan
menjadi guru terbaik bagi kita untuk mawas diri agar kita terhindar dari luka
yang sama, dari luka lebih besar dan dari perilaku yang selalu membuat luka.
Pada titik ini, saya dan Anda pasti sungguh menyadari, bahwa luka yang kecil
saja, kita membutuhkan tenaga, pikiran, bantuan dan waktu untuk proses
penyembuhan.
Nah,
bagaimana dengan luka besar yang bernama perang? Ya, pastinya kita juga
lagi-lagi sangat menyadari, kita semakin membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu
yang jauh lebih besar. Berkepanjangan, bahkan.
***
Dan
tibalah saatnya, kita akan berhadapan, menjumpai dan terus mengalami luka. Bukan
hanya satu luka tapi beragam luka. Semisal, luka karena kehilangan orang-orang
yang kita kasihi, luka karena dendam dan ego, luka karena merasa diri paling
kuat dan superior, dan luka karena para generasi penerus kehilangan
kebahagiaan.
Akhirnya,
ending yang terburuk dan tetap jadi terburuk adalah perang selalu membawa pada
satu kepastian yakni menimbulkan luka yang tak bisa lagi dihitung. Mulai dari
luka dan kepedihan sosial secara individu hingga universal.
Dengan
demikian, kata sembuh atau proses penyembuhan pun menjadi semakin jauh panggang
dari api. Sebaliknya, yang terus terjadi secara berkelanjutan adalah luka
bernanah itu akan menjadi catatan sejarah yang akan menjadi kurikulum kepedihan
bagi siapa pun yang katanya bernama manusia yang diciptakan seturut gambar dan
rupa Tuhan itu.
Dampak
lanjutnya, bisa jadi, ketika IPTEK makin canggih, maka manusia akan kembali
menyembah dan jadi budak IPTEK ciptaanya itu. Janganlah heran, jika TV akan
kehilangan chanel film frozen bagi anak-anak dan akan diganti dengan film
perang melulu.
Saya
menutup tulisan sederhana ini dengan pernyataan yang keluar dari Duta Baca
Indonesia, Bapak Herry Hendrayana Harris saat berkunjung ke SMAS Katolik Regina
Pacis Bajawa-Flores-NTT, pada (Rabu, 16/03/2022).
Saat
momen wawancara bersama tim jurnalistik sekolah, beliau katakan begini:
“Tugas manusia adalah membaca dan menulis. Setelah membaca, lalu menulis. Ini
penting, agar yang kita baca, kita bagikan kepada orang lain.”
Dalam
perspektif lain, saya bisa mengartikan pernyataan Duta Baca di atas, bahwa dalam
hidup ini, tugas kita adalah terus merawat nilai-nilai hidup universal, baik
dalam kata maupun laku. Dan pada akhirnya sikap dan tutur yang baik itu akan
menjadi jejak-jejak sejarah bagi generasi penerus untuk terus merawat
nilai-nilai universal itu secara berkelanjutan tanpa henti.
Tentu
semuanya itu akan terjadi dalam hidup, jika hidup manusa itu selalu
berorientasi pada satu niat dan ikhtiar yakni agar wajah dunia dijauhkan dari
luka yang bernama perang. Sebab, sekali lagi, perang selalu akan meninggalkan
luka.
Oleh
Bonefasius Zanda*
2 Komentar
tampilan blog makin mantap... selamat sore, mari terus menempatkan jejak di dunia tanpa batas geografis ini.
BalasHapusTerima kasih pak guru
Hapus